Kedua pria itu duduk berhadapan. Kehangatan terpancar dari mata mereka. Rasa itu memang masih ada. Masa sepuluh tahun tidak mengaratkan esensi, sekalipun menyusutkan bara. Tidak lagi bergejolak, tapi hangat. Hangat yang tampaknya kekal. Bukankah itu yang semua orang cari?
Sepuluh tahun yang lalu, mereka bertemu di Georgetown, tepat di bawah plang Wisconsin Avenue, bermandi teriknya matahari musim panas Washington, D.C. Masing-masing bersama rombongan teman yang berbeda, banyak yang tidak saling kenal, dan perkenalan keduanya pun berlangsung datar-datar saja. Tidak ada yang spesial.
1 9 9 1
Washington, D.C.
“Dimas, George Washington University,” Dimas memperkenalkan diri. Wajahnya yang manis membuat ia selalu tampak tersipu-sipu.
Reuben menyambut tangan itu, terasa halus, sehalus paras dan penampilan orangnya yang terawat. Berbeda dengan dirinya, guratan wajah yang tegas, setegas jabat tangannya.
“Reuben, Johns Hopkins Medical School.”
“Bagaimana perjalanan dari Baltimore tadi?”
“Yah, lancar-lancar.”
“Saya dengar 295 North dari arah New York Ave ditutup.”
“Kami lewat G.W. Park.”
Nada itu terdengar angkuh. Dimas langsung tahu kalau Reuben termasuk geng anak beasiswa; orang-orang sinis dan kuper yang cuma cocok bersosialisasi dengan buku. Sementara dari gayanya, Reuben pun langsung tahu kalau Dimas termasuk geng anak orang kaya; kalangan mahasiswa Indonesia berlebih harta yang tidak pernah ia suka.
Akan tetapi, hari itu memang berbeda. Semangat musim panas sanggup membuat seseorang berbuat di luar kebiasaannya. Malam itu, kedua rombongan yang tidak pernah bergabung sebelumnya, akhirnya sama-sama terdampar di Watergate Condominium, dalam satu unit apartemen mewah milik kawan Dimas. Dimulai dengan makan malam hingga ber-“pesta-kimia” kecil-kecilan.
Semua orang terkapar tanpa terkecuali, di sofa, di atas karpet, di kasur, bahkan di kamar mandi. Tinggal alunan sayup-sayup musik trance ditambah suara dua orang bercakap-cakap.
“Ini badai serotonin1 pertamaku. Gila, rasanya luar biasa,” ujar Reuben. Sorot matanya menyeberang jauh.
“Badai serotonin,” Dimas menyahut dengan senyum tolol, “istilah yang bagus.”
“Saya nggak mengerti. Kok, ada orang-orang yang malah tidur? Ini adalah momen yang nggak ada duanya. A milestone.”
“Apa yang kamu lihat?”
Reuben melihat sekeliling. Bagaimana ia mampu menjelaskan ini semua? Ia baru saja menemukan cermin yang selama ini ia cari-cari, dan sekarang sedang menikmati refleksinya. Jangan suruh bicara dulu.
Sejak kali pertama Reuben membaca ulasan Benoit Mandelbrot, seorang matematikawan Prancis yang dengan revolusioner membuka gerbang baru untuk memahami ilmu turbulensi, ia langsung merasakan secercah keindahan harmoni antara dua sisi cermin kehidupan, antara keteraturan dan ketidakteraturan, yang tertebak dan tidak tertebak. Order dan chaos.2
Sesempurna apa pun sebuah tatanan, dapat dipastikan chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi. Begitu sistem mencapai titik kritisnya, ia pun lepas mengubrak-abrik. Bahkan, dalam keadaan yang tampaknya ekuilibrium atau seimbang, sesungguhnya chaos dan order hadir bersamaan, seperti kue lapis, yang di antaranya terdapat olesan selai sebagai perekat. Selai itu adalah zona kuantum; rimba infinit di mana segalanya relatif; kumpulan potensi dan probabilitas.
Dalam kehidupan sehari-hari, kehadirannya dapat terasa dalam bentuk intermittency atau ketidaksinambungan. Keterputus-putusan. Paradigma reduksionisme, yang telah berabad-abad mendominasi dunia sains, tidak pernah memberikan perhatian pada fenomena ini. Dan, bagi manusia yang melihat dunia hanya hitam dan putih, maka ia harus siap-siap terguncang setiap kali memasuki area abu-abu dimensi kuantum. Karenanya, relativitas bagaikan kiamat bagi yang mengagung-agungkan objektivitas. Sains ternyata tidak selamanya objektif. Sains, sering kali, harus subjektif.
[Lalu, apakah sebenarnya dirimu, wahai turbulensi? Di mana engkau sembunyikan wajahmu?]
Turbulensi dapat dianalogikan sebagai pigura hitam yang membingkai setiap kepingan gambar dalam reel film, yang ketika diputar dengan kecepatan 24 frame per detik, mata kita tidak akan melihat bahwa sebenarnya film tak lebih dari potongan-potongan gambar dan bukannya kontinuitas. Dalam realitas, turbulensi ibarat sebuah “Dapur Agung” yang transenden. Tak terikat ruang dan waktu, berinteraksi dengan sinyal-sinyal nonlokal. Tempat diraciknya semua probabilitas, potensi, serta loncatan kuantum. Lalu, dari dapur tersebut tersajilah sup kehidupan yang nyata dan terukur, realitas yang bisa dicicip ataupun dihirup baunya.
Turbulensi hadir di mana-mana, dalam hidup organisme sesederhana bakteri sampai ke interaksi antarplanet di Bima Sakti. Tapi, kehadirannya selalu dianggap sekadar keberisikan, tak lebih signifikan dari bunyi kresek-kresek gelombang radio yang tak pas atau gambar statis sesudah acara televisi habis. Namun, sekarang sudah saatnya dunia sains mengalami turbulensi yang sesungguhnya, bahwa cara pandang reduksionis dan fisika klasik para Newtonian tidak akan sanggup memblokir refleksi dari cermin kehidupan. Keteraturan mau tak mau harus berkaca, menemukan dirinya ternyata berasal dari sebuah Maha Ketidakteraturan. Sama halnya dengan otak yang merupakan organ nonlinear tulen, ataupun denyut jantung yang tak beraturan, telah menciptakan order untuk seorang manusia dapat hidup.