Seusai memasuki garasi rumah, ia tidak langsung turun dari mobil. Dicermatinya semua barang satu per satu. Diambilinya dengan penuh kesaksamaan. Ia tidak mau ada yang ketinggalan. Tas, kertas-kertas, Harvard Business Review, charger ponselnya, dan tempat kacamata. Ia masih mencari. Barang kecil itu. Ia menyesal tidak langsung memasukkannya ke tempat yang aman. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan sehingga tak mampu lagi memungut detail-detail kecil.
Perlahan, ia meraba kantong kemejanya. Ternyata, ada di sana. Ia tersenyum, memandangi pensil kecil dan jelek itu. Seolah-olah menemui wajah itu sekali lagi.
Telepon rumahnya berdering. Tergopoh-gopoh ia berlari ke dalam.
“Halo? Yah, Alé lagi. Kirain siapa.”
Sahabatnya, Rafael, yang selalu Re panggil dengan nama kecilnya, Alé, tertawa di ujung sana. “Halo, Re. Mau jalan malam ini?”
“Nggak, makasih. Kerjaan banyak. Aku malas kalau harus berurusan lagi dengan dia minggu ini.”
“Si Kunyuk Bule?”
“Yup. Mantan vice president-mu itu. Kena kutuk apa, ya, perusahaan ini? Kok, bisa-bisanya dia direkrut jadi regional president. Aku harus report ke dia langsung lagi, every fucking month.”
“But, thank God tomorrow’s Friday. Right?”
“Apa bedanya? Bakal ada Senin sampai Jumat lagi. Kans bertemu Kunyuk Albino itu tetap sama. Dia masih bakalan di sini seminggu penuh,” tutur Re setengah menggerutu. “Aku iri denganmu. Kadang-kadang aku berpikir untuk keluar saja, lalu buka bengkel juga. Tidak ada lagi hierarki. Tidak ada lagi rapat-rapat panjang.”
“Tahi kambing. Omong kosong besar! Akui saja, Re, kamu menikmati kesibukanmu. Dan, kamu memang profesional sejati. Kamu itu kutu loncat MNC, sama kayak si Kunyuk. Taruhan, begitu kamu menempati posisiku, aku yakin kamu malah kangen ingin balik ke kantor. Ke rapat-rapat panjang itu.”
“Aku nggak yakin,” Re terkekeh.
“Yang jelas, besok kita bebas clubbing kalau kamu berminat.”
“Lihat besok. Oke?”
Re cepat menyudahi pembicaraan itu. Ia ingin buru-buru bersantai.
Berada di bawah kucuran shower, Re berdiri, memandangi tetesan-tetesan air yang bercahaya keperakan. Melamun. Satu hal yang dulu tidak pernah dilakukannya. Tidak dengan pikirannya yang selalu padat dan terfokus. Namun, malam ini sudah lain. Begitu juga malam-malam terakhir selama sebulan ini. Alé pasti tertawa kalau tahu ia sudah bisa melamun lagi.
Rana. Re menuliskan nama itu di pintu kaca yang penuh uap. Mendapati dirinya seperti anak remaja yang jatuh cinta dan selalu ingin menuliskan nama pujaannya di mana-mana.