SUPERNOVA 1: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh

Bentang Pustaka
Chapter #2

Keping 1 - Yang Ada Hanyalah ADA (Part 2)

“Sangat laki? Siapa bilang jadi gay harus klemak-klemek atau ngomong pakai bahasa bencong? Gini-gini, saya sudah 'coming out' dari setahun yang lalu. Orangtuaku juga sudah tahu. Malah mereka sudah kompak, katanya kalau sampai saya dipanggang di neraka bersama para pemburit seperti nasib Sodom dan Gomorah, mereka bakal minta ke Yahweh untuk ikut dibakar. Soalnya, kalau saya dianggap produk gagal, berarti mereka juga. Hebat, ya?”

Dimas tidak mampu berkata-kata lagi. Ia serasa menemukan pahlawan sejati.

“Saya ingin membuat ikrar. Tolong jadi saksinya, ya.” Reuben sudah berhenti melayang. Pikirannya kini menjejak kukuh ke tanah.

“Ikrar apa?”

“Sepuluh tahun dari sekarang, saya harus membuat satu karya. Satu masterpiece. Satu tulisan atau riset yang membantu menjembatani semua percabangan sains.”

“Sepuluh tahun? Lama amat.”

“Time flies, my friend.”

“Fine. Sepuluh tahun buatmu, sepuluh tahun juga buatku. Satu masterpiece. Roman sastra berdimensi luas yang mampu menggerakkan hati banyak orang.”

“So help us God.”

Keduanya langsung memulai kembara imajinasi masing-masing. Lama mereka terdiam.

Dimas tiba-tiba menceletuk, “Katanya, zat keparat ini akan mengendap di sel lemak sampai bertahun-tahun.”

“Berarti, suatu waktu kita akan kembali ke momen ini lagi? Haleluya!”

“Dan, semoga, kalau saat itu datang, kita bisa mengalaminya bersama-sama lagi.”

Mendengar itu, kepala Reuben otomatis menoleh. Mendapatkan Dimas yang sedang tersenyum tulus menatapnya.

Sepuluh tahun berlalu, dan senyum itu tetap sama. Senyum yang mengantarkannya naik ke podium dan berpidato saat diwisuda dengan predikat cum laude. Senyum yang menyuruhnya tidur saat ia keseringan begadang karena menyusun makalah seminar. Senyum yang tabah mengiringi suka dukanya selama jadi dosen.

Dan, Reuben pun masih tetap pahlawan Dimas yang dulu. Si Indo-Yahudi bersemangat tinggi yang selalu sibuk menggabung-gabungkan ilmu psikologi dengan teori-teori kosmologi yang cuma bisa ia mengerti sendiri. Reuben yang selalu menyebut dirinya sang Psikolog Kuantum. Kobaran semangatnya mampu menyalakan tungku banyak orang. Dengan ide-idenya yang segar, Reuben menjadi inspirator sekaligus kritikus paling sempurna buat Dimas. Tak ada tulisan ataupun naskahnya yang tidak lebih dulu terplonco diskusi panjang dengan Reuben.

Malam di Watergate Condominium adalah badai serotonin mereka terakhir. Tiga bulan dan dua puluh satu hari berikutnya, mereka dilanda badai baru. Badai endorfin. Hormon cinta.

Uniknya, sekalipun sudah sekian lama mereka resmi menjadi pasangan, Reuben dan Dimas tidak pernah tinggal seatap sebagaimana biasanya pasangan gay lain. Kalau ditanya kenapa, jawabannya: supaya bisa tetap kangen. Tetap dibutuhkan usaha bila ingin bertemu satu sama lain.

Sepuluh tahun pun bagaikan sekedip mata.

2 0 0 1

Jakarta

“Happy 10th Anniversary, Dimas.”

Lihat selengkapnya