Jakarta
Gerimis tipis yang rapat membasahi jalan dengan sabar. Aspal kian menggelap sampai akhirnya hitam pekat dan sepasang mata itu tak lepas memandangi. Seakan sapuan pandangannyalah yang menggelapkan jalanan. Sol sepatu Converse tua yang menipis dari hari ke hari semakin mendekatkan kulit telapak kakinya dengan tekstur jalan dan ia suka itu. Seperti pijat refleksi, menurutnya. Minggu lalu ia tertusuk paku payung. Dan, belum jera karena masih bisa berkata: seperti akupunktur.
Di depan sebuah mobil Wrangler hitam yang ia kenal, langkahnya terhenti. Dua meter dari sana beberapa ekor mata bersamaan mendeteksi kehadirannya. Mereka, yang sedang duduk di dalam tenda bubur ayam.
“Bodhi!” Salah seorang memanggil. Di sela bibirnya tergantung tusuk gigi. “Sudah makan belon, lo?” Dan, tusuk gigi itu tetap di sana, bergoyang bersama gerakan mulut.
Bodhi, siluet ramping yang terbungkus jaket kulit, tampak menggelengkan kepala di bawah rinai hujan. Perlahan ia menyibak tenda dan duduk bergabung dengan mereka. Tiga jumlahnya. Bong yang memanggil. Nabil dan Fadil, kembar kaya raya, adalah simpatisan Bong sejak lama walaupun jarang ikut menongkrong di warung si Gombel karena kesibukan mereka kuliah. Fadil di Berkeley dan Nabil di Berklee. Puluhan ribu kilometer dari Jakarta. Namun, setiap kali mereka pulang ke Indonesia, acara mereka dipadati dengan menongkrongi Bong dan mensponsori segala ide di otaknya. Penampilan mereka bertiga serupa, tetapi tak sama. Si kembar meruncingkan rambut di salon. Semua logam yang menembusi daging mereka dari perak asli kadang malah platina. Jaket kulit mereka Calvin Klein, mengilap seperti dicampur bubuk kaca dan wangi seperti dicelup air kembang.
“Mas, bubur satu. Nggak pakai ayam,” Bodhi memesan.
“Telur pakai? Ati ampela?”
“Nggak. Cakue-nya saja, sama kerupuk. Makasih.”
“Bod, acara minggu depan jadi, ya,” ujar Bong. Masih dengan tusuk gigi yang kini sudah rusak dan lembap di ujung bibir.
“Tempatnya beres?” Bodhi balas bertanya sambil sesekali mencomoti kerupuk yang bertengger di mangkuk Nabil.
“Di warehouse gue, di Cilangkap,” Fadil menjawab. “Dua belas band, Man. Daftarnya sudah dipegang si Bong. Pokoknya yang kacangan nggak bakalan masuk. Puppen sudah mau main.”
“Yang penting satu, bikin bersih, ya. Gue malas ngurusin orang mabuk terus,” sahut Bodhi. Pada acara musik mereka terakhir, ia kebagian jadi tim medis, dengan dirinya sebagai satu-satunya penyembuh, sementara yang lain cuma penyembur. Menyembur air kalau ada yang semaput. Padahal, seharusnya ia berjualan tato dengan damai di pojok dengan koper merah anggurnya.
“Gue lagi cari tempat baru buat lo siaran,” Nabil bersuara. Satu tangannya meraih kantong plastik bertuliskan Tower Records yang sedari tadi terparkir dekat kaki meja. “Nih, lo lihat.”
Bodhi menyambut kantong itu. Terasa berat. Tumpukan CD berbaris padat. Dan, matanya pun membeliak ketika melongok ke dalam: Midnight Oil, Fugazi, The Clash, Citizen Fish, Black Flag, dan album-album lama Chumbawamba sebelum gabung dengan perusahaan rekaman EMI. “Wow,” ia berdecak.
“Yang ini buat lo pribadi,” Nabil menyorongkan dua lembar bandana putih dan biru yang terlipat segitiga seperti lopis.
Bodhi tersenyum. “Thanks banget. Tapi, asal lo tahu, gue sudah punya enam.”
“Ini beda, Bod. Kalau yang made in USA sablonannya bolak-balik. Kalau yang lokal cuma sablonan sebelah doang.”
Bodhi manggut-manggut. Masih belum mengerti nilai lebih yang dimaksud Nabil. Asalkan kepalanya tertutupi, ia tidak protes sablonannya cuma setengah atau seperenam belas.
Selagi ia menghabiskan “bubur-ayam-tanpa-ayam”-nya, tiga anak itu menikmati es jeruk sambil terus mendiskusikan acara minggu depan yang bolak-balik mereka nyatakan sebagai gig punk terbesar 2003. Dan, begitu Bodhi menangkupkan sendok tanda selesai, mereka langsung bangkit.
“Yuk, gue janji mau nelepon Arian, nih. Nomornya ketinggalan di rumah.” Fadil berkata seraya meletakkan uang lima puluh ribuan di meja kayu berbungkus karpet plastik itu.
Tukang bubur ayam melirik senang. Ia tahu Fadil tidak pernah menagih kembalian. “Bang Nabil, makasih!” serunya.
“Ini Fadil. Yang cakepan Nabil!” Nabil tertawa dan menepuk bahu saudara kembarnya sambil membuka pintu mobil, membiarkan Bodhi dan Fadil masuk duluan untuk duduk di belakang. Bong duduk di sebelahnya.
Wrangler itu bergulir mulus ke arah Menteng. Tiga suara yang sedari tadi ramai masih terus bersuara. Hanya satu yang lebih banyak diam. Matanya lekat mengamati jalan. Lampu, gelap, lampu, gelap, bayangan gerimis, orang-orang sudah mati, orang-orang masih hidup, bayangan wajahnya di kaca mobil, rumah, gedung. Mencari, dan mencari, apa gerangan yang membuatnya resah sebulan terakhir ini. Sebuah perasaan yang ia kenal, tetapi tak pernah disuka kehadirannya. Perasaan terancam. Tiba-tiba ia berseru, “Bil! Gue turun sini saja, ya.”
Mereka semua menoleh menatap Bodhi. “Mau ke mana lo?”
“Ke warnet.”
“Ya’elah. Kirain. Connect di rumah gue saja.” Nabil tak jadi menghentikan mobil.
Bodhi mengangguk sekilas. Namun, matanya tetap menempel di jalan, terpaku di sebuah ruko kecil bertuliskan: Warnet Click 24 Jam.
Di kamar tidur Fadil yang seluas samudra apabila dibandingkan kamar indekosnya di pelosok Gang Kebon Kacang, Bodhi segera memilih duduk di depan monitor flat yang warna dan cahayanya tajam menusuk mata. Tak lama, seorang pembantu masuk membawa tiga kaleng bir dingin di atas nampan dan secangkir teh panas.
“Batman!” Fadil memanggil Bodhi. Ia menyingsingkan lengan kemejanya. Menunjukkan sebuah tato yang membentuk lingkaran pada siku tempat kulit mengumpul dan berkerut. Tertoreh satu rangkaian tulisan Born - Consume - Mate - Die. “Tiga sudah, satu doang yang belum. Die,” ia mengekeh.
Bodhi tersenyum. “Keren,” komentarnya tulus. “Gue juga sama, tiga sudah. Satu yang belum. Mate.”