SUPERNOVA 2: Akar

Bentang Pustaka
Chapter #3

Akar - Jakarta 2002 (1)

“Assalamualaikum! Tolong, yang di kamar mandi, mohon dipercepat!”

Suara yang kukenal plus gedoran khas pintunya. Tidak terlalu keras untuk dilayangkan sandal jepit, tetapi tidak terlalu lembut untuk diabaikan. Selalu membubuhkan “ass. wr. wb.” seperti di awal surat atau pidato demi sopan santun, bahkan pada pintu kamar mandi sekalipun. Namun, teriakannya menghubungkanmu dengan memori kolektif ketika manusia harus saling menghardik untuk dimengerti, yang mungkin adalah kenanganmu lima atau sedetik yang lalu.

Ia tidak tahu, 30‒45 menit dari waktuku bisa terbunuh di kamar mandi 1 x 2 meter persegi ini. Menyabun badan dua kali. Menyampo batok gundulku berkali-kali. Berkumur lama sampai pipiku semutan dan tumbuh sebesar ikan balon terancam, yang mukanya justru jadi lucu dan kalau dikeringkan bisa jadi wadah lampu.

“Waalaikumsalam,” kusahut sapanya. Handuk di pinggang. Melangkah keluar sambil mengorek-ngorek hidung yang lembap. Tak ada lagi waktu lebih sip untuk menangkapi kotoran hidung.

Laki-laki itu mendekat, begitu pasti seperti laju kereta api menuju stasiun tempat memuntahkan isi lambung. Dan, orang ini mengangkut bara dalam perutnya. Aku menyambutnya sambil terus bernapas. Bernapas. Kekerasannya mengendur. Sinar matanya, yang tadi garang, melembut. Gelagapan ia sibuk menelan dahak. “Tolong, nama jelasnya—ehm—Mas? [suaranya selip] Ehm!”

“Bodhi.”

“Begini, Mas Budi—”

“BO-dhi.”

“Mas Bodhi,” katanya sopan sedikit medok, “saya ini orang suruhan Pak Yunus. Ada lima kamar indekos yang nunggak. Mas Bodhi ini yang paling—maaf—parah. Enam bulan, Mas. Kalau nggak dibayar segera, terpaksa saya harus ambil tindakan.”

“Tindakan?”

“Kita, sih, inginnya kekeluargaan. Jadi, tolong dibereskan secepatnya. Paling lambat lusa.”

“Kalau nggak?”

“Terpaksa Mas Bodhi harus cari tempat indekos lain,” ujarnya prihatin sambil mengembuskan napas. Aroma rokok keretek campur halitosis.

Siapa bilang cuma kata-kata yang lebih kejam daripada pedang? Napas bisa lebih sadis. Senjata biologis. Dan, detonatornya cuma mulut yang membuka. “Lusa datang lagi, ya?” Aku tersenyum. “Setengah delapan? Nanti saya bayar.”

Ia menunduk sedikit, lalu mengejangkan lehernya seperti karet ketepel. “Permisi, Mas Bodhi. Selamat pagi [suaranya selip lagi]—Ehm!”

Lihat selengkapnya