Inilah kota tempat seseorang bisa menjadi orang dikenal tanpa perlu terkenal. Selebritas lokal, begitu istilahnya. Kota ini bagaikan planet mungil yang membulati seluruh hidup penghuninya. Kenangan taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi dapat kau kitari hanya dengan tiga puluh menit berkendara. Dan, sekalipun waktu telah membentangkan puluhan tahun sebagai jarak, tebaran wajah dan tempat itu mencuat laksana pembatas buku.
Inilah kota dengan prasarana yang berkembang cepat dengan pola carut-marut. Sebagai penyeimbang, dianugerahkanlah kantong-kantong pergaulan yang berkembang teratur dan terpola cantik laksana sarang laba-laba. Orang-orang lama, orang-orang baru, orang-orang yang akan datang, terjalin rapi oleh benang-benang tak terlihat, tetapi dapat dirunuti begitu seseorang menjejak di atasnya. Cukup tahu satu untuk tahu semua, begitu katanya. Tak pernah ada yang bisa menduga pertemuan mana yang akan membawa seseorang ke manusia kunci itu. Selebritas lokal. Manusia yang akan membuka gerbang terhadap sejaring selebritas lain. Sampai suatu saat, disadari atau tidak, terjadilah transformasi menjadi salah satu dari mereka. Lain halnya dengan para manusia kunci itu sendiri, yang diam-diam atau blakblakan, selalu menyadari posisinya dan gerbang mana yang mereka jaga.
Demikianlah gambaran Kota Bandung dalam kepala Elektra. Lama ia mengambang sebagai partikel radikal yang berkeliaran sendiri tanpa inang. Sebuah kondisi yang mirip dengan hidup di alam barzakh, eksistensimu hanyalah bayangan dari entitas ad infinitum bernama Penantian. Dan, Elektra telah cukup lama menanti.
Kota berbentuk tempurung yang dulu menangkup baginya, menjadikan ia si Katak yang dimaksud dalam peribahasa, akhirnya membalik juga. Begitu cepat hingga penyeberangan ekstremnya dari kulit terluar menuju jantung pergaulan meninggalkan memori kuat akan perbedaan antara kedua alam itu. Ia menyadari betul inisiasinya. Ia tahu siapa manusia kuncinya. Ia ingat semua.
Rasa kagum kepada manusia kuncinya, Mpret, tak pernah surut. Elektra kagum pada kecepatannya melebarkan jaring, kagum pada heterogenitas manusia yang berhasil dirangkai benang-benang translusennya. Selalu saja ada wajah baru dari berbagai kategori. Mengklasifikasi teman-teman Mpret menjadi aktivitas otak yang menyenangkan. Brain gym, begitu ia mengistilahkan, tanpa mau menjabarkan lebih lanjut faedah nyata apa yang bisa didapat, dan apakah otaknya betulan senam seperti kalau mencongak pakai metode swipoa. Elektra suka kegiatan-kegiatan remeh seperti itu. Sesuatu yang nyaris menjadi profesi saat ia masih gentayangan di sisi antah-berantah kehidupan sosial.
Sesosok wajah baru hadir malam ini. Elektra segera tahu karena kursi kasir tempat ia duduk berada di posisi tusuk satai dengan pintu.
Laki-laki itu masuk ke warnet, tetapi tidak menunjukkan ketertarikan pada komputer. Ia celingak-celinguk mencari yang lain. Dua kali mata itu singgah kepada Elektra, tetapi baru yang kali ketiga ia bertanya, “Mpret ada?”
Elektra langsung memindai apa yang dilihatnya. Rambut kusam, model cepak, ujung-ujung ditegakkan seperti punggung Stegosaurus, cat pirang meluntur. Kulit gosong diterpa ultraviolet dosis tinggi. Baju tumpuk tiga; kaus lengan panjang, kaus lengan pendek, jaket kulit. Jins menggantung semata kaki, mempertontonkan sepatu bot tentara yang sudah dadas di sana sini. Ransel bahan parasut penuh emblem. Aksesori rantai di leher, gelang paku-paku di pergelangan. Lima tindikan di wajah. Terdapat bolongan besar di kuping yang diisi kerang berbentuk kerucut. Di sudut mulutnya menggantung sedotan plastik penuh cap gigi yang mengilap oleh ludah.
Input semua data tadi lantas menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: anak punk -> bukan klien -> bukan anak warnet-> bukan teman nongkrong -> non-Bandung. Kesimpulan: teman lama banget/teman baru banget/calon rekan bisnis. Namun, Elektra cenderung mengeliminasi kemungkinan terakhir. Kalau bukan teman lama, pasti teman gres. Bukan dari Bandung karena kalau iya, ia sudah pasti sudah nongol setidaknya sekali dalam dua tahun terakhir ini. Mpret tidak pernah kehilangan kontak dengan semua temannya, kecuali kalau ia memilih demikian.
“Ada di belakang. Saya panggil dulu, ya,” jawab Elektra sambil berdiri, “sori, namanya siapa?”
“Bong.”
Bong. Bong. Bong. Elektra mengulang-ulang nama itu dalam hati. Nama yang tidak biasa. Mirip dengan Mpret. Satu kata, tetapi hadir. Mungkin Bong merupakan versi pendek dari Bongky. Atau Bongkar. Bukannya tidak mungkin, baru minggu lalu ia berkenalan dengan anak baru gede bernama Bento yang berayahkan seorang fans fanatik Iwan Fals. Dengan sungguh-sungguh Mpret menyarankan kepada anak itu untuk tidak pernah menginjakkan kaki ke Jepang karena di sana yang bernama bento bentuknya kotak dan cuma untuk dijejali makanan.
Tamu nyentrik itu juga tidak menunggu sebagaimana layaknya prosedur konvensional orang bertamu. Tanpa sungkan, ia menguntit Elektra dari belakang. Santai melenggang sembari menyanyi bergumam. Sesekali Elektra mendelik ke belakang, seolah ingin mengibas nyamuk yang berdenging di kuping. Namun, orang itu tampak relaks seperti di rumah sendiri tanpa disuruh.
Langkah Elektra berhenti di depan satu pintu kamar. Ada kebisingan dari dalam sana yang memberontak ingin keluar, tetapi diredam seperti duri bandeng dijinakkan dalam kukusan presto. Sepotong kaca jendela yang tertutup rapat bergetar-getar akibat dentuman bas yang menggebu. Mengetuk tidak akan memberi dampak apa-apa.
“Mpret... Mpret...,” Elektra memanggil sambil menggedor pintu. Beberapa kali ia mengulang, tetapi tidak ada efek.
Segugus lengan tahu-tahu muncul dari belakang, melayang tepat di kepala Elektra, lalu ikutan menggedor. “PRET! HOI!”
Dua kata, tetapi efektif. Bong punya gelegar dalam suaranya yang sanggup berkompetisi dengan gaduh di dalam sana. Tak lama, kegaduhan itu hilang dan gagang pintu itu bergerak.
“BONG!”
“PRET!”
“BONG!”
“PRET!”
Bongpret. Bongpret. Tempe bongpret. Elektra mengulang-ulang dalam kepalanya sambil menontoni dua laki-laki itu berbalasan meneriakkan nama satu sama lain seolah-olah tidak yakin akan identitas masing-masing. Mereka berangkulan akrab, saling tepuk bahu, saling tepuk muka. Berusaha terus meyakinkan diri.
“Etra, kenalin, ini Bong. Sepupu gua,” Mpret berkata setelah pipinya memerah kena tepukan Bong berkali-kali.
Elektra termangu. Ini kategori yang belum pernah ada sebelumnya. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang punya hubungan darah dengan Mpret. Terkadang ia lupa bahwa Mpret lahir ke dunia dari sebuah keluarga, bukan turun dari langit atau tumbuh dari tanah. Dan, tanpa analisis lebih lanjut, dapat disimpulkan kalau Bong berasal dari belahan keluarga Mpret yang Jawa Barat. Bukan yang Italia.
“Hai. Saya Elektra.”
“Oh. Ini yang namanya Elektra?” Bong menjabat tangannya mantap.
Sebuah kejutan lagi baginya. Kalimat Bong menyiratkan adanya proses praperkenalan. Elektra pun bertanya-tanya, kapan itu terjadi dan apa saja yang dibilang Mpret tentangnya.
“Sebelas tahun gua sama dia nggak ketemu. Sebelas!” seru Mpret sambil mengacungkan kedua telunjuknya.
Bong terkekeh, menampangkan sederet gigi berantakan yang keropos satu-dua. “Desertir keluarga. Sama juga kayak dia. Cuma gue merintis lebih awal.”
“Gimana caranya kalian bisa ketemu lagi?” tanya Elektra penasaran. Siap senam otak dengan merunut jejaring yang membuahkan pertemuan dramatis ini.
“Friendster,” Bong menjawab ringan.
Yang itu bukan kejutan, kendati cukup membuat Elektra terperenyak. Bukti konkret bahwa mereka sungguhan hidup di Era Milenium, terminologi favorit sahabatnya, Kewoy. Yang lain sudah muak dengan istilah yang mengusang akibat pemakaian berlebihan sejak 2000 itu, tetapi tak ada yang bisa menghindari kenyataan yang diungkapkannya. Sepasang sepupu yang terpisah sebelas tahun menemukan keberadaan masing-masing lewat Friendster. Jaring laba-laba elektronik yang mencoba membungkus dunia. Elektra ingat, Mpret baru mendaftar di Friendster sebulanan yang lalu. Itu pun karena dipaksa. Aneh memang, apalagi untuk macan internet seperti Mpret, tetapi ia punya alasannya sendiri.
Waktu kali pertama browsing, Mpret menganggap Friendster hanya berguna bagi orang-orang kesepian yang kekurangan teman, tetapi kelebihan waktu. Teman-teman Mpret, termasuk Elektra, langsung protes. Mereka lantas memamerkan halaman Friendster-nya masing-masing yang langsung dibalas tawa terbahak oleh Mpret. Ia merasa salah menyimpulkan, ternyata Friendster juga berguna bagi orang-orang yang cukup teman, tetapi tidak percaya diri karena butuh rekonfirmasi.
“Lihat, tuh,” kata Mpret waktu itu, “isinya kalian-kalian lagi, yang kalau mau ketemu tinggal nongolin kepala, yang kalau mau ngomong tinggal teriak, itu sama gobloknya dengan gua bicara sama si Kewoy pakai HP padahal dia di depan hidung.”
Teman-teman Mpret lantas teringat, malam sebelumnya mereka saling berseru dari sekat komputer masing-masing, “Add saya, dong!” Saat itu juga diputuskanlah untuk berhenti meyakinkan Mpret.
Akan tetapi, hari ini, kondisi itu berbalik. Mpret menjadi orang percaya. Friendster juga berguna untuk orang-orang yang kehilangan sepupu.
***
Semalam suntuk kedua kerabat itu bertukar cerita demi mengejar ketinggalan satu dekade. Sayup-sayup suara mereka merambati udara dini hari yang dingin. Bong, si Anak Jakarta, menyebut diri “gue”. Mpret, si Anak Bandung, menyebut diri “gua”.
“Kenapa kita baru ketemu sekarang, ya. Padahal, gue hampir setiap minggu ke Bandung.”
“Nggak ngerti. Padahal, gua sering jalan kaki lewat tempat lu nongkrong.”
“Mungkin memang baru sekarang jatahnya.”
“Iya.”
“Rokok, Pret?”
“Gua nggak ngerokok.”