“Maaf, siapa namanya tadi, Kak?”
“Elektra.”
“Seperti gadis James Bond? The World is Not Enough?” Ia tersenyum cerdik. Berusaha menarik simpatiku dan menunjukkan bahwa di balik dasi mencolok dan kemeja yang tidak serasi, di balik jidatnya yang berkilap karena minyak dan cucuran keringat pada siang bolong, di balik variasi dagangannya yang aneh itu, ia masih mengikuti perkembangan film Hollywood. Tak ketinggalan Agen 007.
“Ya.” Aku mengangguk dan kubiarkan salesman itu bahagia dengan idenya karena harinya pasti sudah sangat susah.
Elektra. Jarang ada yang tahu alasan sebenarnya. Ayahku seorang tukang listrik, atau, ehm, ahli elektronik, bernama Wijaya. Tertuliskan besar-besar di plang depan rumah kami dulu: Wijaya Elektronik – Servis dan Reparasi.
Tinggal di Bandung membuat namaku tidak indah. Aku berharap pengucapan “Elektra” dapat bergulir anggun bagai kaki jenjang pemain ski di atas sungai beku, dengan huruf “a” yang menganga sempurna seperti kita mengucap “angsa”. Namun, namaku terucapkan segaring keripik emping mentah dengan huruf “k” yang tergantung malu-malu di ujung. Elektra’. Seperti “kakak”.