Inilah transitnya tersingkat di London.
Setelah dua hari berada di alam enteogen yang membuat badannya terkapar tak berdaya, pada hari yang ketiga fisiknya segar luar biasa. Seakan segenap selnya diperbarui sekaligus dan tubuhnya bangkit menjadi Zarah Amala yang serupa tapi tak sama. Sembilan hari di Glastonbury terasa bagai mimpi panjang. Dari sana, Zarah keluar sebagai manusia baru. Lahir batin.
Tiket pulangnya ke Jakarta sudah diurus Pak Simon dari Glastonbury. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan Paul dan Zach. Kedua orang itu sedang tidak ada di tempat saat ia pulang ke rumah teras mereka di Clapham. Tapi, ia memang tidak punya banyak waktu untuk bercerita kepada mereka. Zarah cuma sempat membongkar ranselnya, membawa tambahan baju, memuatnya kembali dalam ransel yang lebih besar. Berangkat ke Heathrow.
Di ruang tunggu, Zarah menekan speed dial pertama. Zach. Ponselnya tidak aktif. Zach mungkin lagi asyik memotret gelondongan sampah, pikirnya. Nomor kedua ia tekan. Paul. Entah mengapa, jantungnya berdebar lebih kencang.
“Missy?†Suara Paul menyapanya.
“Cro-Mag, I’m back.â€
“How was Glastonbury? Did you find him? Did you find any clue?†Paul langsung memberondong.
“Saya berhasil menemukan Simon Hardiman. And more. Tapi, saya belum bisa cerita sekarang. Saya harus boarding.â€
“Ke mana kamu?â€
“Indonesia.â€
“Kamu pulang?†ulang Paul tak percaya. “For real?â€
“Kakekku meninggal. I need to be there.â€
Hening sebentar di ujung sana. “Very sorry to hear that,†dengan suara rendah, Paul berkata.
“Thank you,†balas Zarah tenang, “he’s in a happy place, Paul. I’m sure about it.â€
“Kamu bakal kembali ke Inggris, kan?â€
“Nggak tahu. Saat ini hidup terlalu mengejutkan untuk memastikan apa pun.â€