Dalam lembaran faks yang sudah mengeriput itu tertulis ZRH. Kode untuk Zarah. Aku. Brad to Borneo. Itu nama proyeknya. Kulit keningku ikut berkerut, otakku menelusuri perbendaharaan nama selebritas yang kupunya.
“Brad—the ‘If’ song? How old are these people now? Mereka bukan mau tur keliling pabrik LNG di Bontang, kan?†tanyaku bingung.
Zach, yang menyerahkan lembar faks tadi, berusaha keras mencerna komentarku, baru kemudian terpingkal-pingkal. “That’s Bread, you moron,†serunya. “This is BRAD. The sexiest Homo sapiens of 21st century. God, you’re so pathetic!â€
Valerie Wilkes, profesor muda dari Departemen Geosciences di Massachusetts University yang baru dua hari bergabung dengan kami—masih bau kopi Starbucks, kalau kata Zach—langsung membelalakkan mata. “PITT?†Valerie melengking. “Brad fucking Pitt?â€
Aku merenung sejenak. Berusaha mengingat-ingat yang mana.
Zach roboh ke tanah dan tertawa terguling-guling melihat pemandangan itu. Antara Valerie yang rela kencan dengan sepuluh orangutan demi masuk ke short list pendamping WWF yang secara berkala memboyong selebritas Hollywood masuk hutan, dengan aku yang berkali-kali ditawari ikut tapi selalu menolak tanpa tahu apa yang sebenarnya kulewatkan. Tahun lalu, mereka membawa Julia something—Roberts? Lupa lagi. Zach membodoh-bodohiku selama sebulan karena ia sendiri rela melakukan apa saja demi memotret senyum maut Julia di pagi hari. Seakan-akan panjang gigi perempuan itu bakal bertambah atau berkurang seinci, tergantung sinar matahari.
“Oh, please, Zach. Jangan mentang-mentang saya native,†ujarku. “Masih banyak orang lain di Indonesia yang sama kompetennya.â€
“Bukan karena kamu native,†Zach berkata dengan intonasi bijak yang membuat aku semakin tidak percaya, “tapi karena kamu yang terbaik.â€
“Yeah, right.†Aku menjulurkan lidah. Bujukan basi. Bukannya kami akan menyelidiki manusia berekor atau apa. Ini, toh, proyek promosi. Tidak lebih. Hollywood memang amplifier raksasa dan strategis bagi suara kami ini. Peranku sendiri tidak berarti banyak. Tabir surya SPF +50 dan makanan kaleng impor barangkali lebih penting bagi seorang Brad daripada kehadiranku.
Lebih baik aku tenggelam di sini, Madidi, Taman Nasional Bolivia seluas sembilan belas ribu kilometer persegi, berlokasi di salah satu negara termiskin di Amerika Selatan, tapi bisa jadi yang terkaya dalam soal koleksi spesies flora fauna. Harta sejati. Fred Dunston, temanku dari Wildlife Conservation Society, meyakinkanku berkali-kali bahwa Madidi mengerdilkan koleksi flora dan fauna Taman Nasional Manu, primadonanya Amazon, menjadi seperti Taman Safari Bogor. Fred sengaja membuat analogi menggunakan tempat dari kampung halamanku agar aku lebih paham. Ironisnya, belum pernah kukunjungi yang namanya Taman Safari Bogor itu.
Begitu ada tawaran pergi ke Bolivia, aku mengepak tasku tanpa berpikir. Padahal, baru seminggu lalu aku berangkat dari Bandara Entebbe, pulang ke London, markas besar sekaligus tempatku bermukim. Sejak lama aku sudah membidik Madidi. Namun, karena sempat ditahan oleh The Journal of Infectious Disease yang selalu haus data, plus menyambi untuk WHO yang selalu kekurangan orang gila untuk ditempatkan di mana saja, akhirnya tiga bulan terakhir kuhabiskan waktuku di Uganda, mendokumentasi epidemi virus Ebola.