Kami tinggal di pinggir Kota Bogor, dekat sebuah kampung kecil bernama Batu Luhur. Meski sudah ditawari sebuah rumah dosen di dekat kampus Institut Pertanian Bogor tempatnya mengajar, Ayah memilih tetap tinggal di rumah lama kami, di mana ia masih bisa bersepeda ke Batu Luhur. Di kampung itu, keluarga kami diperlakukan bak raja.
Semua diawali oleh kakekku. Hamid Jalaludin. Pria keturunan Arab, bertubuh tinggi dan gagah. Berdiri di sebelahnya seperti dinaungi pohon besar yang kokoh. Kulitnya yang putih membuat cambang, kumis, dan alisnya mencuat kontras. Entah itu penduduk, kerabat, anak, atau cucu, kami semua serempak memanggilnya Abah.
Abah adalah tokoh yang amat dihormati di Batu Luhur. Aku tak tahu persis bagaimana Abah yang orang Arab dan bukan asli Jawa Barat akhirnya bisa menetap di sana. Membaur dengan penduduk dan fasih berbahasa Sunda. Ibu hanya pernah bercerita sekilas bahwa awalnya Abah sudah lama bermukim di Kampung Arab di daerah Cisarua. Sejak muda, Abah sudah ingin mengabdikan diri pada misi syiar agama. Ia sudah sering dipanggil menjadi penceramah di daerah Bogor dan sekitarnya. Namun, di Batu Luhur-lah, Abah menemukan rumahnya.
Seiring waktu, Abah menjadi tokoh agama sekaligus tokoh ekonomi di Batu Luhur. Di sana, ia membina pesantren rumahan. Ia mendorong penduduk kampung agar punya industri kecil, tidak cuma bergantung pada hasil bumi. Abah disejajarkan dengan kaum sesepuh yang punya suara penentu atas masa depan Batu Luhur.
Berbeda dengan Abah yang pendatang, Ayah adalah anak asli Batu Luhur. Ia anak yatim piatu yang diadopsi Abah dan Umi, sebelum akhirnya lima tahun kemudian mereka punya seorang anak perempuan kandung bernama Aisyah. Ibuku.
Orangtua kandung Ayah meninggal dalam kecelakaan bus. Ayah sempat diurus oleh neneknya yang sakit-sakitan. Tak sanggup lagi mengurus bayi, nenek kandung Ayah membawanya ke pengajian. Berharap ada orang kampung yang bersimpati dan mengambil bayi itu. Dan, ternyata orang itu adalah Abah.
Sejak Ayah masih bayi, Abah sudah melihat tanda-tanda khusus. Raut wajahnya tampan, matanya bersinar cerdas, perawakannya sehat meski agak kurus karena terputus ASI dan hanya diberi air tajin sebagai ganti. Abah yakin Ayah akan menjadi orang besar. Dengan restu sang nenek, Abah mengangkat bayi laki-laki itu menjadi anak. Ia berikan nama “Firasâ€, yang artinya kepekaan dan ketekunan.
Ayah tumbuh besar sesuai dengan ramalan Abah. Kepandaiannya melampaui semua anak di Batu Luhur. Akhirnya, demi menyediakan pendidikan yang sesuai bagi Ayah agar kecemerlangannya tak sia-sia, Abah dan Umi pindah ke Bogor kota. Abah tetap menjalankan pengabdiannya sebagai pembina Batu Luhur. Ia berangkat ke sana setiap hari seperti orang berkantor.