Waktu bergulir tergesa hari itu, menyulap senja menjadi malam yang hadir terlampau awal. Langit sore terasa lebih muram daripada biasanya, lebih gelap daripada seharusnya. Awan kelabu membola pekat di pucuk-pucuk Andes dan tak menyisakan semburat matahari jingga yang semestinya menyapu halus siluet pegunungan.
Gio merasakan mendung yang sama dalam hatinya. Dengan langkah ragu ia turun dari bus yang mengantarkannya ke Pisaq, kota yang berdiri sebagai gerbang pembuka Lembah Suci Urubamba. Karena tuntutan pekerjaannya di biro perjalanan, tak terhitung berapa kali sudah ia bolak-balik dari Cusco ke Lembah Urubamba. Namun, perjalanannya kali ini berbeda. Gio melangkah dalam gelap. Tak tahu harus ke mana dan menemui siapa.
Seorang curandero akan menemukan Anda. Demikian pesan pria misterius bernama Amaru yang menemuinya beberapa hari lalu di Cusco. Entah berapa banyak orang bergelar maestro curandero tersebar di daerah situs Inca ini, dari yang tulen hingga gadungan. Wisata spiritual adalah primadona di Lembah Suci Urubamba dan merupakan lahan produktif bagi para maestro curandero yang bertugas menjadi pemandu ke alam roh. Tidak sedikit pun Gio pernah tertarik. Tidak juga hari ini. Ia datang hanya untuk menguji pesan dari Amaru.
Di mulut terminal, Gio mengencangkan tali ranselnya sambil menengok ke arah langit. Gerimis tipis mengecupi wajahnya. Awan seolah bergegas turun, menelan rakus pegunungan dan lembah, termasuk tempatnya berdiri. Mendung mengepung Gio dari segala penjuru. Dalam hatinya, sangsi bertumbuh dan membesar.
“Chawpi Tuta.”1
Perhatian Gio langsung mendarat. Panggilan itu terlalu spesifik untuk diabaikan. Suara itu terlalu akrab untuk ia lewatkan.
Dari lalu-lalang manusia yang bergerak menyibak kabut, seseorang menyeruak ke hadapannya. Perempuan bertubuh pendek dengan siluet lebar. Perempuan itu lalu mencopot topi sombrero cokelat yang menutupi rambut hitam berkepang dan sebagian wajahnya. Napas Gio tertahan. “Mama?” desisnya.
Chaska Pumachua, perempuan Quechua yang sudah dianggapnya ibu sendiri, berdiri di hadapannya seperti ajudan yang siap menjemput. Tidak ada pelukan menghambur yang biasanya terjadi setiap kali mereka bertemu. Chaska hanya tersenyum kaku, sebelah tangan memegang sombrero, sementara sebelah lagi tersimpan di dalam kantong mantel, memandang kasihan seperti menyesali dosa yang Gio tak pernah tahu.
Rangkaian pertanyaan dan kecurigaan sambung- menyambung di kepala Gio. Chaska tinggal di Vallegrande, Bolivia. Sementara, putra tunggal Chaska, Paulo, tinggal di Cusco bersama Gio. Bagaimana mungkin Chaska tahu-tahu muncul di Peru tanpa memberi kabar sebelumnya kepada Paulo? Kepadaku?
“Aku harus membawamu menemui seseorang,” kata Chaska.
Gio bergeming di tempatnya berdiri. “Apa hubungan Mama dengan Amaru? Kalian saling kenal?”
“Kuceritakan di jalan. Mari.” Satu tangan Chaska menjulur meraih lengan Gio. Senyum hangat terbit di wajahnya. “Cuaca ini tidak mengizinkan kita berlama-lama, Chawpi Tuta. Perjalanan masih panjang. Seorang curandero sudah menunggumu.”
Gio merasa tak punya pilihan lain. Pesan dari Amaru masih perlu diuji.
***
Kertuk kerakal yang tergilas ban terdengar dari lantai mobil yang berguncang. Jip putih dengan tenaga penggerak empat roda itu melaju di atas jalanan berkelok yang mendaki perbukitan ke arah reruntuhan Pisaq, bagian dari rangkaian situs Inca Citadel, jauh meninggalkan pusat kota.
Chaska mengemudi dengan tenang dan terampil menembus kabut. Gio selalu merasa Chaska adalah pengemudi mobil yang jauh lebih baik daripadanya dan Paulo. Namun, hatinya tetap tidak tenang. “Ke mana kita sebenarnya? Daerah situs sudah tidak bisa dimasuki lagi jam segini.”
“Kita tidak masuk. Dia yang keluar dari sana. Kita cuma menjemput.”
“Bagaimana Mama tahu aku berangkat ke Pisaq? Tahu dari mana jadwal busku?”
“Amaru.”
Jawaban Chaska semakin membingungkan Gio. Sejak kunjungan Amaru di Cusco, Gio dan Amaru belum pernah bertemu lagi. Gio bahkan tidak memberi tahu siapa pun mengenai detail perjalanannya ke Urubamba, termasuk kepada Paulo yang memang sedang tidak di rumah saat ia berangkat.
“Sejak hari apa Mama di Peru?”
“Kemarin.”
“Paulo tahu?”
“Tidak.”
“Paulo kenal Amaru?”
Chaska melepaskan pandangannya dari jalan, sejenak menatap Gio. Muka iba itu muncul lagi. “Belum,” jawabnya lembut, “belum saatnya.”
“Sementara aku sudah?”
“Kita tidak bertemu dengan kebetulan. Perkenalanmu dengan Paulo, denganku, terlihat seperti peristiwa acak, tapi bukan. Aku sudah tahu siapa kamu sebelum kita berkenalan,” kata Chaska. “Amaru sudah memberitahuku.”
“Siapa Amaru sebenarnya?”
“Kami menyebut Amaru dan kaumnya: para Pembebas. Mereka selalu ada di sini. Mengawasi.”
“Mengawasi apa?”
“Orang-orang seperti kamu.”
“Aku?”
“Kita tidak sama, Chawpi Tuta. Wujud kita serupa, tapi kamu punya tugas tertentu seperti mereka. Kalian datang dan pergi ke Bumi ini dengan satu tujuan yang berulang-ulang. Kami menyebut kalian… Los Precursores. Para Peretas.”
Penjelasan Chaska membuat Gio merasa seperti makhluk angkasa luar. “Peretas? Meretas apa?”
“Info itu tidak boleh datang dariku,” jawab Chaska. “Orang-orang seperti kami disebut Umbra,” lanjut Chaska. “Kami bertugas membayangi kalian, membantu jika dibutuhkan, karena bahkan para Pembebas pun memiliki keterbatasan di sini. Kami menolong kalian mewujudkan rencana. Siklus demi siklus. Merekam apa yang terjadi sesuai kemampuan kami. Sejarah yang satu ini… ah, seperti melukis di air.” Chaska menepuk setir dengan gemas. “Sulit dikenang. Sulit dipegang. Rasanya satu dunia ini tersihir mantra untuk lupa. Lagi dan lagi.”
Gio membuang pandangannya ke jendela mobil sambil melepas napas panjang. “Usted me hizo perder,2 Mama. Sori, itu semua terlalu aneh.”
“Semua juga bilang begitu awalnya. Akhirnya, mereka akan mengerti. Nanti kamu juga sama,” balas Chaska.
Mobil mereka memasuki tempat parkir yang lengang di Qantus Raccay, titik terakhir untuk kendaraan beroda sekaligus awal dari jalan setapak menuruni kompleks masif reruntuhan peninggalan Inca yang menyerupai kota kecil; meliputi kuil, makam, terasering, hingga reruntuhan perumahan.
Dingin mencengkeram begitu mereka melangkah keluar. Gerakan udara bersama gerimis meniupkan sekaligus meruapkan aroma rumput basah.
“Curandero ini, siapa dia?” Gio meneruskan upayanya mengorek Chaska.
“Orang paling berpengalaman yang kutahu. Dia mengenal dunia spirit sebaik aku mengenal kebun jagungku. Tenang saja, Anakku. Amaru tidak mungkin mengatur dengan sembarang,” kata Chaska sambil merapatkan mantelnya. “Dia mungkin masih berjalan balik dari Intihuanta. Kita tunggu sebentar.”
Gio mendengus. Intihuanta, situs yang diyakini sebagai pusat tempat ritual dan observasi bintang peninggalan Inca, terletak cukup jauh di bawah. Dengan undakan batu yang curam, berjalan dalam kondisi gelap sama saja mencari celaka. “Tidak mungkin masih ada orang di situ dalam cuaca begini. Semua pengunjung pasti sudah disuruh keluar dari tadi.”
“Bagi orang-orang seperti dia, segalanya mungkin.” Chaska mendongak.
Gio mengikuti arah mata Chaska dan mendapati kabut berangsur menipis. Gerimis menyusut dan akhirnya berhenti sama sekali.
Dari kejauhan, sebuah alunan musik turut diembuskan semilir angin. Tiupan seruling. Meliuk lincah dan merdu menembus dinginnya petang di puncak bukit. Bunyi itu terdengar mendekat. Dan, begitu saja, tiupan itu terputus. Berganti dengan suara langkah kaki yang menapaki batu. Siluet seorang pria mendekat ke arah mereka.
“Chaska.” Suara itu ringan dan cerah.
Pria itu menyalahi semua ekspektasi Gio terhadap seorang maestro curandero. Curandero, atau syaman penyembuh, kebanyakan adalah pria tradisional dengan usia matang, yang secara tipikal akan berpakaian serbaputih berhias poncho, kepala ditutup chullos, membawa kantong chuspas berisi daun koka. Berselempang tas kain di bahu, orang ini tampak sebaya dengannya. Kerah kaus oblong hijau muncul dari balik jaket motif alpaka generik yang seperti baru saja disambar dari toko suvenir. Kakinya dibalut celana kargo yang menggantung di atas mata kaki, memperlihatkan kaki kurus beralaskan sandal gunung. Garis rahangnya ditumbuhi janggut pendek dan rambut cokelatnya yang lewat dari bahu dikucir asal-asalan. Orang paling rabun pun bisa melihat jelas bahwa ia bukan orang Amerika Selatan. Ia seperti turis Kuta tersasar di tanah Inca. Sebelah tangannya menggenggam suling bambu. Sebelahnya lagi menjulur, bersiap menjabat tangan Gio.