Gio dapat mendengar erangannya sendiri yang tak terputus sejak tadi, mencium asap tembakau, merasakan tikar tempat ia meringkuk, tapi ia merasa terputus dari tubuhnya. Pancainderanya seolah beroperasi dari stasiun lain, bukan lagi dari tubuh yang ia huni.
Terpampang bagai layar di balik kelopak matanya yang terpejam, Gio melihat jelas hamparan pola heksagonal ber-warna-warni. Layar itu berdenyut dan berpendar, seiring dengan pola yang berubah menjadi spiral, bunga, kubus, lalu kombinasi bentuk-bentuk geometris lain yang sudah tak bisa ia ikuti. Hanya nikmati. Ia berada dalam sebuah mandala yang hidup.
Nyanyian icaros Ozcar dan tiupan suling Luca ikut mendorong perubahan atas apa pun yang ia lihat. Gio digiring dalam jalur yang diciptakan oleh vibrasi bebunyian di sekitarnya dan dibawa ke sebuah tujuan tertentu. Seperti penumpang yang diikat di kursi belakang, kesadarannya seolah tidak berdaya untuk mengendalikan perjalanan.
Pola-pola geometris itu perlahan berubah menjadi wujud-wujud yang sensasional. Gio tiba di sebuah hutan yang menyala. Segala makhluk dan benda mengeluarkan cahaya. Biru yang teramat biru. Hijau yang terang benderang. Merah yang menggelegak. Warna-warna itu sedemikian intens hingga dadanya sesak. Keindahan itu terlalu besar untuk bisa ia cerna. Gio mulai terisak-isak.
Dalam sekejap, isakannya lenyap diganti oleh kesiap. Seekor ular raksasa, menjulang setinggi pepohonan dengan mata kuning nyalang sebesar kolam, bergerak mendekatinya. Ketika ular itu bergeser, seluruh hutan ikut bergerak. Gio pun tersadar, hutan tempatnya berada kini tak lain adalah tubuh ular itu sendiri. Gio bisa melihat kehadiran makhluk lain; hewan-hewan menyerupai burung, jaguar, kijang, katak, kupu-kupu. Mereka semua bergerak bersama-sama, bagian dari ular yang sama, dan fokus mereka hanya satu: dirinya.
Gua hitam lalu terkuak di hadapannya, memanjang seperti terowongan tak berujung. Ada larik-larik halus di sekujur dindingnya yang membuat terowongan itu tampak hidup. Sebuah pemahaman hinggap di batin Gio, bahwa gua itu tak lain adalah mulut ular raksasa yang menganga. Meski tak ada suara, Gio mengerti bahwa ia sedang diundang masuk. Ada yang menunggunya di dalam sana.
“Clavis.” Suara seorang perempuan bergema. Entah dari gua itu atau di dalam pikirannya. Segala batas tak lagi jelas. Sepintas Gio menduga itu adalah suara ibunya. Satu dari sedikit orang yang mengetahui nama tengahnya. Nama yang amat jarang ia gunakan.
Tanpa ragu, Gio memasuki gua itu.
***
Ia tiba di alam yang mirip dengan hutan sebelumnya. Hanya saja, intensitas warna di sekitarnya melembut, seolah segalanya di sana tersaput kabut tipis yang meredam benderang warna-warna.
“Clavis.” Suara itu terdengar lagi. Ada perempuan yang hadir. Gio kesulitan melihatnya dengan jernih karena wujud perempuan itu baur dengan alam sekeliling; berbelit dengan kelopak bunga, dedaunan, pelangi, pendar sinar, yang membuatnya kelihatan bukan makhluk solid melainkan sekumpulan benda renik yang merekat longgar.
Gio sering mendengar tentang sosok feminin yang kerap muncul ketika seseorang menyeberang ke dunia spirit lewat ritual Ayahuasca, yang juga dipercaya sebagai wujud ibu dari alam raya.
“Madre Aya,” bisik Gio.
Seolah merespons ucapan Gio, rekatan benda renik itu merapat dan terlihatlah sepasang mata yang menyorot teduh.
Tangan Gio terulur, menggapai. Perempuan itu menyambut.
Lelehan air mata mengaliri pipi Gio tanpa terkendali. Ada keakraban mendalam yang mewujud menjadi luapan perasaan rindu. Ada kelelahan luar biasa yang tak pernah ia tahu ada dan diangkat sekaligus dari sistemnya. Gio merasa seperti anak yang pulang ke rumah setelah perjalanan teramat jauh.
Ketika tangan mereka bersentuhan, ikatan kumpulan renik itu melonggar, pecah terurai, bergerak merambatinya, menyerbu masuk ke tubuhnya seperti invasi serangga pemakan daging. Napas Gio memburu. Tubuhnya mulai mengurai. Terpecah belah menjadi kepingan renik. Gio kehilangan batas fisiknya. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa ia mulai membaur bersama lingkungannya. Persis seperti wujud Madre Aya. Tak hanya melihat, Gio merasakan fisiknya melenyap. Tidak ada lagi rasa berat dan solid. Mengawang bagai molekul udara. Dalam panik, sebuah pertanyaan terselip di benaknya. Kalau diriku sudah tidak ada, kenapa aku masih bisa berpikir? Kenapa aku masih merasa ada? Kenapa aku masih bisa bertanya?
Begitu pertanyaan itu terlontar, serentetan jawaban langsung datang menggenapi. Bukan berupa suara atau bahasa, melainkan hantaman balok-balok pemahaman. Gio tersadar, kumpulan renik tadi sesungguhnya adalah informasi. Aliran informasi kini membanjirinya. Menggenapinya.
***
Matanya mengerjap, menemukan wajah Chaska menaungi. Gio mengedarkan pandangan. Luca dan Ozcar masih duduk di tempat yang sama dan asap tembakau masih mengepul dari pipa Luca. Perlahan, Gio bangkit duduk. Perutnya ringan. Tidak ada mual tersisa. Pendaran pola geometris itu sudah tidak ada. Warna-warni hutan itu sudah hilang.
“Jam berapa sekarang?” Pertanyaan Gio yang pertama.
“Tengah malam,” jawab Chaska lembut.
“Enjoy your Dimethyltryptamine ride?” tanya Luca sambil menggeser duduknya, mendekati Gio.
“What…?”
“DMT. Some called it The Spirit Molecule. Senyawa yang sama membanjiri otak manusia saat kalian mati. Ramuan seperti Ayahuasca bisa mewujudkannya sebelum saat itu tiba. Fun, wasn’t it?”
“Kamu bertemu Madre Aya?” tanya Chaska. “Apa yang dia bilang? Kamu sudah mengerti apa tugasmu?”
Gio tidak menjawab. Matanya terus bercilap-cilap.
“Dia masih mencernanya, Chaska,” cetus Luca. “Ibarat orang puasa dan tahu-tahu menelan kentang sekarung.”
“Clavis,” kata Gio sekonyong-konyong, “Madre Aya menyebut nama tengahku. Baru sekarang aku mengerti.”
“Nama itu tidak diberikan orangtuamu dengan sembarangan. Sebelum perjalananmu dimulai, kamu membisiki mereka, menitipkan sepotong nama yang mengandung petunjuk. Entah nama kode atau fungsi kalian. Semua Peretas melakukannya,” Luca menambahkan.