Pagi bahkan belum bergulir menjadi siang di Kota Bandung. Namun, ruang dan waktu sudah sedemikian terdistorsi bagi Elektra dan Bodhi. Keduanya terduduk bersisian di atas karpet, termenung memandang ruang kosong.
Ekor mata Bodhi bergerak, melirik perempuan mungil di sampingnya. Beberapa menit lalu, perempuan bernama Elektra adalah orang asing baginya. Kini, Bodhi merasa Elektra lebih tahu banyak tentang dirinya dibanding siapa pun di muka Bumi hanya dalam beberapa saat tangan mereka bersentuhan. Sudah terlalu banyak kegilaan yang Bodhi saksikan seumur hidupnya, dari mulai hantu berwajah rusak hingga pratinjau api neraka, tapi belum pernah ia mengalami perjalanan seperti tadi.
Beberapa kali Bodhi berdeham, tak nyaman menjadi orang yang harus memecah keheningan duluan. “Sesi terapi kamu biasanya berapa lama?”
“Empat puluh lima menit sampai sejam.” Elektra menjawab dengan nada yang sama gamangnya.
Bodhi melirik jam di dinding. Sudah lebih sepuluh menit mereka habiskan dengan terduduk diam. Masih setengah jam sebelum orang-orang di luar curiga. “Apa yang kamu ingat?” tanya Bodhi lagi.
“Kamu… kita… punya wujud lain. Di tempat itu kamu disebut Akar. Kamu panggil saya Petir. Tempat itu namanya….”
“Asko?”
“Ya. Asko. Saya lihat ada perempuan. Terus, ada semacam bangunan… rumah… ada enam.”
“Perempuan itu bilang apa?”
Elektra menggeleng. “Saya terlempar lagi, nggak tahu ke mana. Semuanya abu-abu, terbalik-balik, nggak jelas.”
Ini gila, Bodhi membatin. “Kamu mengalami dan melihat yang persis sama. Kok, bisa?”
“Bodhi, saya perlu bilang sesuatu.” Elektra menggeser duduknya menghadap Bodhi. “Ada satu hal yang sebetulnya sama sekali nggak nyambung dengan penyembuhan, tapi belakangan bisa saya akses. Saya juga nggak ngerti gimana caranya karena semua kejadian itu spontan. Barusan berulang lagi dengan kamu.”
Bodhi ikut mengubah posisi duduknya berhadapan dengan Elektra. Bersiap menyimak dengan kesungguhan.
“Jangan ketawain kalau kedengarannya aneh.”
Bodhi mengangkat dua jarinya. “Janji. Saya sudah biasa sama yang aneh-aneh.”
Elektra menahan napas sejenak. “Saya bisa baca pikiran orang.”
“Oh.”
“Ya, gitu.”
“Terus?”
“Ya, sudah.”
“Kalau itu saya juga bisa. Kadang-kadang.”
“Oh, ya?” Elektra melongo. “Eh, sebentar. Maksud saya begini. ‘Pikiran’ mungkin bukan istilah yang paling tepat. Saya bisa mengakses memori lewat sentuhan. Apa yang saya lihat tadi kemungkinan besar cuma memori kamu.”
“Artinya?”
“Artinya, kita mungkin nggak mengalaminya bareng. Bisa jadi saya cuma lihat memori kamu. Lewat kamu. Makanya bisa persis sama.”
“Asko, Akar, Petir, Bintang Jatuh, dan semua yang tadi itu, adalah memori? Masa lalu?”
“Mungkin.”
“Kalau bukan?”
“Ya, bisa saja, sih. Tapi, rasanya kok, terlalu… apa, ya?”
“Aneh?”
Ragu, Elektra mengangguk.
Bodhi meraih tasnya yang tergeletak di pojok ruangan, mengeluarkan sebuah agenda bersampul kulit cokelat yang sudah dekil. Dari dalamnya, secarik lipatan kertas ia buka ke hadapan Elektra. “Saya punya bukti lain.”
Elektra menerima selembar kertas itu, membacanya cepat.
“Surat itu nggak sengaja saya temukan di komputer warnet, saya cuma baca judul dokumennya. Akar. Nggak tahu kenapa, saya tergerak buka dan baca. Saya selalu merasa surat ini ditujukan buat saya. Lihat. Asko, Akar, Petir. Semua yang kita alami tertulis di sini.”
Elektra membacanya ulang, kemudian melipatnya lagi. “Oke. Ini betulan aneh.”
“Saya belum pernah mendengar ‘Asko’ sampai saya baca surat itu. Semua yang kita alami tadi, belum pernah kejadian sebelumnya di hidup saya.”
“Mungkin memori apa, kek. Kehidupan lampau? Di surat itu kan, tertulis 2.500 tahun. Kan, katanya orang bisa reinkarnasi….”