Aku memainkan pensil 2B yang kupegang. Pensil itu lepas dari tanganku, jatuh ke lantai. Ujung pensil patah saat aku mengambilnya. Aku merautnya lagi dengan rautan kelinci putih milikku. Suaranya unik setiap aku memutar batang pensil.
"Apa kamu sangat bosan?" Tropis membuka suaranya.
"Tidak," jawabku," Apa kamu sudah selesai menyalin?" tanyaku balik sambil melihat catatannya.
"Belum," jawab Tropis singkat.
“Tropis, apa menurutmu orang yang baik-baik saja itu benar dirinya baik-baik saja?"
Aku akui sebenarnya aku memang bosan. Siapa pun akan bosan bila tidak ada yang mengajak mengobrol. Padahal Tropis ada di depanku, tetapi dia terlalu fokus menyalin catatan. Seolah aku hanya benda mati lain, pelengkap meja kursi di ruang kelas ini.
"Mungkin," kata Tropis.
"Mungkin?" Aku tidak puas dengan jawaban dari Tropis. Aku pun mengeluarkan pendapatku sendiri. "Aku pikir orang yang mengaku baik-baik saja hanya sedang membaca mantra. Orang itu berharap mantra yang diucapkannya sungguh membuatnya merasa baik-baik saja. Namun, itu hanya topeng.“
“Jadi, apa kamu sedang tidak baik-baik saja?” tanya Tropis padaku.
“Aku baik-baik saja,” ucapku cepat.
“Kamu sedang mengucapkan mantra, seperti yang kamu ucapkan barusan. Kamu sedang memakai topeng.” Tropis mengarahkan bolpoin yang dia pegang ke wajahku.
Refleks aku memukul tangannya yang teracung ke arahku sampai bolpoinnya terlempar ke meja sebelah.
“Ah, maaf,” ucapku cepat.
Tropis mengambil bolpoinnya tanpa protes. Dia kembali menyalin catatan. Seolah ucapanku hanya hembusan angin yang lewat.
“Aku baik-baik saja. Sungguh,” tegasku.
Aku mencoba mengingkari pernyataan yang kubuat sendiri.
Tropis meletakkan bolpoin di atas meja. Lalu, dia menatapku dengan sorot mata yang menyelidik.
“Liona, kamu sudah putus asa dengan mantra itu. Kamu tahu, kenapa mantra yang kamu ucapkan tidak akan pernah berhasil? Itu karena kamu tidak pernah jujur dengan dirimu sendiri. Berhentilah mengucapkan mantra itu. Katakan kamu tidak baik-baik saja. Mungkin kamu akan merasa lebih baik.”
Aku tidak menanggapi kata-katanya. Meskipun sekian detik pandangan mata kami saling bertemu. Setelah itu, Tropis tidak mengatakan apa pun. Dia hanya menyerahkan buku catatanku. Sepertinya dia sudah selesai menyalin. Lalu, dia pergi begitu saja. Meninggalkanku sendirian. Tanpa ucapan terima kasih.
Tropis beranjak kembali menuju kelasnya. Kelas yang paling jauh, di gedung paling belakang sekolah. Entah kenapa dia selalu mendatangiku untuk sebuah catatan. Padahal dia juga memiliki banyak teman sekelas yang mungkin catatannya lebih baik dariku. Dia melakukannya sejak tahu aku ada di sekolah yang sama dengannya. Padahal sudah jelas-jelas beda kelas. Ikatan takdirku dengannya cukup lama memang. Aku dan Tropis sudah satu sekolah dari SD. Sampai-sampai aku dan Tropis pernah dikira kakak beradik. Tropis memang suka asal ngomong bila ditanya hubungannya denganku.
“Bila jawaban dari pertanyaan bisa menjadi sederhana dan praktis untuk apa mencari jawaban yang rumit,” ucapnya dulu saat mengajariku soal matematika. Seiring berjalannya waktu, aku menjadi tahu, ternyata tidak hanya berlaku pada pelajaran, tetapi juga cara pandang hidupnya juga. Setiap menanggapi masalah atau apa pun yang datang dia selalu berpikir simpel.
Pernah Tropis bilang kalau kami saudara kembar karena aku sering menumpang mobil ibunya ke sekolah saat SD. Ibu Tropis juga sangat ramah, saat Tropis mengatakan itu, ibunya hanya tersenyum dan mengusap kepalaku. Tidak lupa mengatakan,” Tolong berteman baik dengan Tropis dan Liona ya.” Hal itu membuat semua teman-temanku di SD menjadi salah paham.
“Hei, Lion…,” panggil Tropis memecah lamunanku.
Tropis berhenti di bibir pintu kelas, “Berhentilah mengucapkan mantra itu.” Dia mengatakannya tanpa memandangku.
“Kalau begitu, apa kamu bisa berhenti meminjam catatanku lagi?” balasku. Lalu, akhirnya dia menatapku.
“Kalau begitu jangan datang terlalu pagi. Hanya kamu yang datang di jam segini. Aku tidak bisa menemukan orang lain selain kamu di jam segini,” dia berujar. Lalu, pergi sambil melambaikan tangan.
“Kamu tahu kan aku tidak bisa datang lebih siang?!” teriakku, meskipun Tropis sudah tidak terlihat batang hidungnya.