Persahabatan itu seringkali unik. Tanpa rencana dan mengalir begitu saja. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan awal mula persahabatanku dengan Alice bisa terjalin yaitu kesempatan. Mungkin peluang untuk lebih dekat dengannya bukan hanya di pagi itu saja, tetapi kesempatan yang kulihat baru di hari itu. Pada sebuah pagi di bulan Agustus. Beberapa minggu setelah awal semester baru dimulai.
Aku pikir persahabatan akan selalu manis dan dipenuhi tawa. Akan tetapi, ada saatnya kompromi dan mengalah itu diperlukan. Alice adalah gadis supel yang memiliki banyak teman. Waktunya tentu saja bukan hanya miliknya. Dia banyak membagi dengan keluarga dan teman-temannya. Dia juga masih menyempatkan untuk mengobrol tentang ide-ide cerita denganku.
Kami mencoba menulis cerita dan saling bertukar pendapat tentang alur kami masing-masing. Awalnya, Alice masih enggan untuk menuliskannya, tetapi pada akhirnya dia mencoba menuliskannya. Imajinasinya luar biasa. Aku merasa nyaman bila mendengar cerita darinya. Sepertinya aku adalah penggemar pertama tulisan dia. Setiap dia selesai menulis, aku adalah orang pertama yang membaca ceritanya. Aku merasa tersanjung dan terhormat.
Aku terbiasa dengan kehadiran Alice. Karena dia aku mulai rajin menulis lagi. Namun, kebersamaan kami ternyata tidak lama. Dia harus pindah sekolah pada saat awal semester genap. Aku tidak pernah menyangka perpisahan itu sangat cepat.
Sejak kepergiannya aku mulai menjadi diriku yang penyendiri lagi. Kadang Tropis masih suka menggangguku, meminjam catatan atau cuma meminjam buku paket ke kelasku. Dia beralasan lupa membawanya. Meski aku tidak tahu kenapa hampir tiap hari dia lupa membawa buku-bukunya.
Tropis juga suka mengajakku pergi nonton bioskop dengan teman-temannya. Seringnya aku tolak. Aku tidak terlalu berminat untuk bepergian sepulang sekolah.
“Aku ada banyak PR,” jawabku entah keberapa kalinya saat dia mengajakku pergi.
“PR apa?” tanyanya ingin tahu.
“Banyak,” responku pendek.
“Aku tanya, PR apa? Bukan berapa jumlah PR mu?” Tropis agak menekan kalimatnya.
“Kamu kenapa sih? Ingin tahu saja. Kenapa kamu nggak ajak saja teman-teman sekelasmu. Kenapa kamu terus menggangguku?” ucapku kesal.
Lalu, aku pergi meninggalkannya di lorong sekolah.
Tropis mengejarku dan dia menghadangku.
“Kamu yang kenapa?!” ucapnya dengan nada tinggi.
Semua anak di lorong tiba-tiba melihat kami.
“Tropis,” ucapku.
Dia menghela nafas,”Terserah kalau begitu,” ucapnya pelan sebelum pergi meninggalkanku dengan kebingungan.
Apa sih maunya? Aku tidak habis pikir. Dan itu terakhir kali Tropis menggangguku. Dia beberapa kali melewati depan kelasku, tetapi melirik ke arahku pun tidak. Seringnya dia asik mengobrol dengan temannya sambil jalan di lorong depan kelasku.
Sekarang, mungkin sudah satu bulan Tropis mendiamkanku. Setelah kepergian Alice dan kini aku membuat Tropis menjauh dariku.
“Selamat Liona kamu benar-benar sendirian sekarang,” kataku .