Supernumerary in Liona Life Story

windra yuniarsih
Chapter #3

Snow Globe

Hujan malam tadi menyisakan mendung di langit. Hati pun seakan menjadi ikut berkabung menatapnya. Ada perih yang nyata, tetapi tak kasat mata. Kedatangan Tropis kemarin malam pun masih teringat jelas di ingatan. Aku tak membiarknnya masuk dan mengabaikannya lagi. Menyalahkannya karena bagiku itu salahnya. Di sini aku menjadi gadis egois yang tidak mau mengalah.

 Aku membuka jendela kamar, matahari belum kelihatan. Hanya bintang pagi yang tersisa di langit sana.

 Kutanya pada bintang pagi,”Ada apa lagi dengan diriku?”

 Dan dia hanya menatapku pilu.

 Gelisah melihat tatapannya.

 ”Ada apa lagi dengan diriku?” kukembali mengulang tanya yang sama.

 “Kamu tahu, tetapi tidak mau tahu. Kamu melihat, tetapi seolah tak melihat. Kamu merasa, tetapi seakan tak ada rasa. Kamu menolak untuk mengakui kalau kamu takut. Kamu sedang ketakutan. Kamu takut suatu hari kamu mati dan meninggalkan sesal di hatimu. Karena kamu terlalu pandai menyembunyikan rahasia dalam kata.” Itu kata-kata bintang pagi untukku. Jangan bertanya bagaimana aku bisa tahu kalimat dari satu bintang di langit yang jauh. Kalimat itu menyusup ke kepalaku begitu saja.

 Kalimat bintang pagi tidak selesai di situ, dia melanjutkan lagi, “Dan kini rahasia itu memakanmu. Kamu tak sekuat yang kamu kira, kamu pikir kamu bisa hidup sendiri. Kamu pikir nature-mu adalah kembali dalam kesendirian. Semua salah. Kamu butuh teman. Kamu butuh sahabat, karena kamu tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Bila tidak ingin merasakan abadinya rasa sepi.”

 Bintang pagi menjawab tanyaku yang singkat dengan untaian kalimat panjang. Apakah ada yang percaya aku berbicara dengan bintang pagi yang jauh di langit sana? Sejujurnya itu hanya pikiran-pikiranku saja. Sejak kapan aku suka berbicara pada benda-benda seakan mereka makhluk hidup? Entahlah, aku pun tak bisa mengingatnya.

 Setelah beberapa menit kulihat langit berubah. Ada cahaya kemerahan mengintip dari balik awan. Fajar telah kembali datang. Namun, pikiran-pikiranku mash saja mengawang-ngawang.

 “Lion…” Ibuku memanggil. Suara ketukan pintu terdengar.

 “Kau sudah bangun?” tanyanya.

Lihat selengkapnya