"I love you, Pak."
Sherly tiba-tiba mengungkapkan perasaannya kepada sang guru yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Ia kemudian lanjut berjalan dan memeluk sang guru, namun ditolak.
"Sherly? Kamu... Bisa berjalan?"
Sherly mengiyakan pertanyaan tersebut sambil mengangguk. Ia kembali berusaha untuk memeluk Pak Mario, namun masih tetap ditolak.
"Saya... Saya tidak mengerti. Kalau kamu sudah bisa berjalan, kenapa kamu masih di rumah sakit?"
"Soalnya... saya takut Pak. Saya takut ketemu dengan Bapak. Jadinya, saya berpura-pura belum bisa jalan," jawab Sherly dengan ekspresi tersipu malu.
Pak Mario tampak terkejut mendengar jawaban tersebut.
"Sherly, saya mohon pengertiannya. Sudah saya bilang, ini hanya salah paham. Kamu memang termasuk salah satu murid yang paling dekat dengan saya, tapi saya tidak punya perasaan lebih kepada kamu. Benar-benar hanya sebagai guru yang sayang kepada muridnya."
"Tapi... Saya gak ngelihat Bapak dekat dengan murid perempuan lain selain saya. Masa sih Bapak benar-benar gak ada perasaan apapun sama saya. Lagian, ini bapak udah berkali-kali pengen ketemu saya di rumah sakit. Itu karena bapak sebenarnya sayang sama saya, kan?" ucap Sherly dengan wajah tersipu malu.
Setelah mendengar ucapan Sherly tersebut, Pak Mario menghela nafas panjang sebelum mulai berbicara lagi.
"Saya concern sama kamu. Saya sudah tahu kalau kamu yang menaruh pakaian dalam kamu sendiri di tas saya saat awal-awal kita kemping bareng ekskul pecinta alam. Ada yang melihat kamu masuk ke tenda Bapak. Kenapa kamu sengaja melakukan itu?"
"Soalnya... saya kira Bapak akan senang. Waktu Bapak klarifikasi ke saya, kebetulan saya lagi bareng teman saya. Jadi saya terpaksa pura-pura gak tahu. Maaf yah Pak~"
Pak Mario menggelengkan kepalanya.
"Tapi itu sudah terlanjur jadi rumor yang beredar di kalangan murid dan guru. Bahkan beberapa guru lain juga mulai mengira saya sebagai orang mata keranjang."
"Kan, setelah itu udah gak ada yang ngomongin lagi Pak. Hehe."
"Iya, tapi tindakan kamu saat kemping terakhir sudah termasuk berlebihan. Kamu sengaja masuk ke tenda saya dan membaringkan diri dengan keadaan setengah telanjang di samping saya. Kalau peristiwa itu dilihat orang lain, reputasi saya sebagai guru juga bisa rusak."
Sherly memasang wajah cemberut saat mendengar ucapan tersebut.
"Kan, saya waktu itu bilang kalau saya suka sama Bapak. Saya ingin hubungan kita lebih dari sekedar guru dan murid. Saya gak apa-apa kalau pura-pura di hadapan yang lain. Tapi, kalau kita sedang berduaan saja, yah gak apa-apa donk Pak."
Pak Mario berdecak kecil. Dahinya mengerut. Tampaknya ia mulai merasa kesal karena Sherly masih menyimpan perasaan suka pada dirinya.
"Sherly. Jawaban saya masih sama dengan di tenda waktu itu. Saya sudah menikah dan punya istri. Usia kita beda jauh, dan hubungan kita adalah guru dan murid. Kita tidak bisa bersatu."
Wajah Sherly semakin cemberut, namun sang guru ternyata belum selesai berbicara.
"Selain itu, saya sengaja tidak menceritakan masalah hubungan ini kepada siapapun. Saya ingin kita bicara baik-baik lagi. Apa yang kamu alami ini sudah mulai masuk ke dalam gangguan mental... Ah, bukan berarti kamu sakit jiwa atau semacamnya. Namun, kamu perlu mendapatkan penanganan dari sisi psikologi."
"Pak Mario, aku gak gangguan mental apapun kok. Aku benar-benar cintaaaa banget sama Bapak sejak pertama kali kita jumpa di lapangan olahraga waktu itu. Hati aku langsung berdebar kencang pas Bapak memperkenalkan diri di hadapan teman-teman sekelas."
Pak Mario kembali berdecak mendengar ucapan anak didiknya tersebut.