Setelah suasana hatinya sedikit membaik, Peter melepas pelukan Stanley dan duduk kembali di tempatnya.
Stanley mengambil kotak tisu dari meja sebelah yang kosong karena kotak tisu di meja mereka kebetulan sudah habis. Ia segera mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya kepada Peter untuk mengusap air matanya.
"Thanks ya...," Peter menghabiskan dua hingga tiga lembar tisu untuk mengusap bersih air matanya yang tadi mengalir cukup deras, "Sori, gw kesannya cengeng banget ya?"
"No, it's okay. Waktu hari di mana dede gw jatuh koma, gw nangis hampir sebanyak lu kok. Bedanya, gw gak ada orang buat dijadikan tempat bersandar. Haha..."
Peter menghela nafas sejenak. Dirinya sudah lebih tenang sekarang.
Ia sebenarnya tidak menyangka kalau yang membuatnya tenang saat ini justru orang yang sempat dia benci hingga beberapa waktu lalu. Mungkin, dia sudah tidak sebenci itu pada Stanley setelah mengetahui cerita dari sudut pandangnya.
"Lu mau cerita beban pikiran lu? Eng... Siapa tahu aja bisa bikin beban pikiran lu berkurang. Jujur sih, kondisi gw lebih mending setelah tadi cerita banyak sama lu," tanya Stanley sambil menggaruk ringan belakang kepalanya.
"Hmm...," Peter memegang gelang tali persahabatan milik Edwin yang ditaruh di meja, "Sebentar ya."
"Iya. Santai aja."
Stanley dan Peter sama-sama duduk diam di tempat masing-masing. Keduanya sama-sama memandang ke arah meja, meski Stanley sesekali memandang Peter untuk memeriksa apakah ia jadi berbicara atau tidak.
'... Stanley sudah cerita panjang lebar beban pikirannya. Ini... Gw merasa ingin melakukan hal yang sama.'
Peter mengambil nafas panjang sebelum membuka mulutnya.
"Jadi, gw baru saja kehilangan sahabat gw... Lagi."
Stanley menatap Peter dengan serius.
"Maksud lu, Ansel?"
"Edwin. Dia tadi kesal banget karena gw di sini bareng sama lu. Dia pikir, gw ngebela lu seolah lu gak bersalah. Ya... Gw memang ngebela lu sih, sedikit," Peter menelan ludah sebentar sambil menatap Stanley dengan dalam.
Ada sedikit senyum yang terlihat di wajahnya.
"Thanks sudah ngebela gw, meski sedikit. Gw sangat appreciate."
"Iya tapi... Edwin sepertinya juga memang sudah terluka duluan gara-gara gw. Jadi, dia cepat banget ambil kesimpulan kalau gw dan lu itu 'musuh' yang sengaja mencelakai Reza."
"Sori, maksud lu? Kok dia bisa ambil kesimpulan kalau lu ikut andil mencelakai Reza? Kan cuma gw di sini yang terlibat rencananya si cewek brengsek itu."
Peter menceritakan secara ringkas mengenai kejadian di rumah sakit beberapa hari setelah Reza meninggal, termasuk usahanya 'mencomblangkan' Reza dan Gisela. Ia mengakui bahwa dirinya memang pernah mendengar rumor Gisela adalah anak gembong narkoba.