Superpower - Your Life Is The Price

Alexander Blue
Chapter #97

Time Freeze - Bagian 29

Sebelum pesta dimulai, Peter sudah membawa beberapa permainan seperti kartu remi, kartu UNO, dan ular tangga ke kamarnya. Ia langsung meminta Stanley, Edwin, dan Ansel untuk bermain bersama agar tidak ada yang beranjak pergi dari kamarnya.

Awalnya Edwin dan Stanley sama-sama menolak ide tersebut, namun Peter membujuk mereka.

"Please... Kehadiran kalian di sini adalah kado ulang tahun terbaik buat gw," ucap Peter sambil mengatupkan kedua tangannya sambil memasang wajah sok imut.

Stanley yang mukanya memerah langsung mengiyakan, sedangkan Edwin masih sempat menolak. Namun, begitu Ansel mengatakan kepadanya kalau ia akan membongkar salah satu aibnya kepada Stanley, ia akhirnya terpaksa setuju untuk tetap tinggal di tempat.

"Oke. Yuk pada duduk dulu. Gw siapin dulu games-nya," ucap Peter sambil bergegas menuju ke arah meja belajarnya.

Beberapa saat kemudian, mereka memulai permainan kartu remi berpasangan sebagai permainan pertama.

Keempatnya dibagi menjadi dua kelompok, di mana tugas mereka adalah menghabiskan kartu di tangannya lebih cepat dibandingkan kelompok lain. Pembagian kelompok ini selalu diputar setiap ronde. Secara kebetulan, Edwin sering berpasangan dengan Peter atau Stanley dan membuatnya terpaksa berkomunikasi dengan mereka.

"Tujuh hati."

"Delapan wajik- YAK!"

Ansel langsung menepuk tumpukan kartu disusul Stanley dan Peter. Edwin terlambat menepuk sehingga ia terpaksa mengambil seluruh tumpukan kartu.

"Hahaha! Ayo semangat main!" teriak Ansel dengan girang.

"Ah, coba tadi gw gak kesemutan duduk, pasti udah berhasil nepuk," keluh Edwin.

"Mmm... Gak ada semut kok di kamar gw. Tiap hari selalu dibersihkan soalnya," ucap Peter sambil menyengir.

"... Iya iya," Edwin menggulingkan matanya.

Keempat orang tersebut lanjut bermain kartu hingga bosan dan berpindah ke permainan lain.

Sistem pembagian kelompok kembali diterapkan untuk permainan-permainan berikutnya, seperti UNO, ular tangga, dan permainan tebak pelaku menggunakan aplikasi di ponsel. Meskipun awalnya kaku, Edwin mulai dapat berkomunikasi normal dengan Peter.

"GOAL! Mantap Bro!" ucap Ansel kegirangan sambil membuat high five dengan Stanley.

"Duh Peter, coba tadi lu pilih buat maju tiga langkah, bukan empat. Pasti kita gak akan kena jebakan betmen dengan skip giliran sekali," kata Edwin sambil mendengus pelan.

"Mmm... Iya sih. Tapi gak apa deh. Yuk kita kocok lagi anggota kelompoknya."

Saat Peter menggunakan aplikasi lotere di ponselnya untuk mengacak anggota kelompok bermainnya, Edwin memintanya untuk berhenti sejenak.

"Eh, bentar. Ini kita sudah hampir sejam main dari tadi. Lu bilang tadi ada yang mau dibicarain, kan. Soal apa?"

"Oh itu...," Peter menggaruk kepalanya, "Sebenarnya gak begitu ada sih,"

Edwin memasang muka kaget saat mendengar jawaban tersebut.

"Hah? Gw kira ada hal penting apa. Tadi Ansel bilang, ada hal penting menyangkut hidup mati yang mau dibicarakan. Tahu gitu, gw tadi langsung pul-"

"Tunggu! Peter bilang gak begitu ada. Artinya, tetap saja ada sesuatu yang ingin dia bicarakan meskipun gak banyak," sela Stanley sambil melirik ke arah Peter.

Edwin melihat keduanya bergantian, kemudian menatap Peter.

"Kalau ini soal hubungan kita, maka-"

"I'M SORRY! Edwin, gw benar-benar minta maaf karena sudah bikin lu terluka!" ucap Peter yang tiba-tiba berlutut sambil membungkuk ke arah Edwin.

Meskipun kaget atas permintaan maaf tersebut, Edwin menggelengkan kepalanya.

"Edwin, gw tahu kalau gw orangnya lemah. Gw merasa sudah berkali-kali diselamatkan Reza, Ansel, dan lu. Gw tahu kalau lu sangat menyalahkan gw atas kematian Reza."

Mata Edwin terbelalak begitu mendengarnya. Namun, Peter tidak berhenti berbicara.

"Tapi, percayalah. Gw benar-benar gak punya maksud buruk menyembunyikan informasi apapun soal Gisela ke lu. Gw juga minta maaf karena membuat lu merasa semakin terluka saat tahu gw ternyata berteman dengan Stanley."

Ketiga orang lainnya diam tidak bergeming mendengar ucapan Peter. Stanley, dan terutama Ansel, terlihat sedikit kaget karena mereka jarang sekali melihat Peter berbicara dengan suara lantang.

"Gw benar-benar menganggap kalian semua sebagai teman terbaik gw sepanjang hidup gw. Sejak kakak gw hilang, gw hampir gak pernah merasa bahagia. Bertahun-tahun lamanya gw menjalani hidup dengan perasaan kosong, sampai akhirnya gw bertemu dengan Reza dan kalian semua."

Lihat selengkapnya