Superpower - Your Life Is The Price

Alexander Blue
Chapter #101

Time Freeze - Bagian 33

Wajah Peter langsung terkejut saat memeriksa pagar rumput di samping pohon mangga di halaman belakang rumahnya.

"Ini... Kucing?"

"MIAW~"

Kucing hitam tersebut mengeong pelan dan berputar-putar di tempat. Ia tampak ingin mendekati Peter.

"Lu emangnya takut sama kucing? Bukannya lu takutnya sama belalang dan kecoak aja ya?"

"Ah, kalau kucing gw sebenarnya gak setakut itu. Cuma sedikit bergidik aja karena gw pernah dicakar dulu," jawab Stanley sambil mengusap dadanya.

Peter tersenyum kecil dan mengusir kucing hitam tersebut. Saking luasnya, memang terkadang ada binatang liar yang masuk ke halaman rumahnya seperti anjing dan kucing liar.

"Sudah gw usir ya. Haha," ucap Peter bangga sambil berkacak pinggang.

"Thanks, Pet," balas Stanley sambil mengacungkan jempolnya.

Peter mengangguk kemudian melihat ke arah pohon mangga di sampingnya. Melihat hal tersebut, Stanley juga ikut melihat ke arah pohon yang buahnya tampak sudah mulai ranum tersebut.

"Pernah manjat pohon mangga, Stan?"

Stanley menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Dulu, di depan rumah gw juga ada pohon mangga. Sherly senang banget manjat pohonnya buat metik mangga yang sudah matang," ucap Stanley yang tiba-tiba mengenang masa kecilnya.

"Emm... Terus, lu gak ikutan?"

"Ikut, tapi gw berdiri di bawahnya. Gw takut ketinggian soalnya. Jadi, gw suruh adik gw yang lebih berani buat metik tuh mangga semua dan lemparin buat gw kumpulin. Pernah tuh satu kali, kepala gw kepentuk mangganya. Untung aja gw gak mati, jadi gw bisa ada di sini sekarang nemenin lu."

Peter langsung tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Stanley barusan.

"Lu gak bisa ngomong yang lebih cheesy lagi ya dari itu? Haha."

"Ya maaf gw sepertinya seasin cheese (keju), gak kayak yang satunya semanis coklat...."

"Hah? Jadi lu bilang Sherly adik yang manis? Ternyata, lu kakak yang sweet juga ya," Peter tersenyum menggelengkan kepalanya.

"... Ahaha, iya," balas Stanley sambil menghela nafas panjang dengan wajah sedikit kecewa.

Peter tampak sedikit bingung atas reaksi sahabat barunya tersebut, namun Stanley mengalihkan topik dengan kembali bercerita singkat tentang memori masa kecilnya. Pada dasarnya, Sherly sang adik cenderung tipe yang lebih berani dibanding dirinya.

"Hmm... Kalau gw pikir, mungkin adik lu berani karena ada lu sebagai kakaknya yang menemani dia sih."

"Nah, gw gak tahu sih. Setelah makin berumur, gw sebenarnya gak sesering itu sih main bareng ataupun ngobrol sama dia. Makanya, mungkin gw miss sesuatu sehingga gak tahu kenapa dia bisa tiba-tiba memakai Levitation bersama gurunya...."

"Yah, tapi at least, gw sih merasa sepeti itu ya. Sejak ada lu, gw merasa lebih berani bertindak maupun mengambil keputusan," ucap Peter sambil memasang senyum lebar ke arah Stanley.

Stanley diam sejenak dan tampak terkejut mendengar jawaban tersebut.

"Oh ya? Keputusan apa misalnya?"

"Lu tahu gak? Tadi habis mengantar lu ketemu papa gw, gw minta Ansel untuk gimanapun caranya, tolong bantu bujuk Edwin buat ikut ke kamar gw. Soalnya, gw benar-benar punya rencana pengen minta maaf ke dia secara langsung."

"Eh? Serius?" mata Stanley terbelalak.

"Iya. Terus, pas tadi kita di kamar, gw gugup setengah mati untuk ngomong minta maaf ke Edwin. Tapi, entah kenapa karena ada lu di situ, gw jadi lebih berani buat ngomong sama dia. Thanks banget lho."

Stanley menundukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

Telinganya berwarna merah karena sepertinya malu akan pujian tersebut. Peter tersenyum mengejeknya, sedangkan Stanley pasrah diejek karena masih merasa malu.

"Lalu, gw juga senang karena sepertinya, Ansel dan Edwin juga mulai sedikit akrab dengan lu. Dengan begini, lu gak akan kesepian lagi. Kita semua bisa jadi teman di kampus. Cheer up! Semuanya happy!" ucap Peter sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Ahh, Peter. Harusnya gw yang bilang thanks sama lu lah. Gw gak tahu apa yang bisa gw lakukan ke lu buat balas semua kebaikkan yang udah lu kasih buat gw. Lu sudah jadi teman dekat gw di Sobat Pena, dan akhirnya jadi teman di dunia nyata juga."

"Sama-sama," balas Peter sambil tersenyum.

"Lalu, mood gw cenderung lebih mudah gw kontrol. Lu juga bantu gw ngelewatin hari-hari berat saat gw merasa depresi beberapa minggu ini. Lu bantu ngasih gw kerjaan supaya gw gak usah melakukan pekerjaan gak menyenangkan itu. Bahkan sekarang, lu mau ajak gw ke circle of friends lu."

Stanley berhenti berbicara sebentar dan melirik ke arah Ansel dan Edwin di kejauhan. Matanya tampak berair.

"... You saved my life. Tahukah lu, bahwa teman-teman lu tuh hoki banget punya teman kayak lu?"

Peter tersenyum kemudian menyengir saat melihat Stanley berusaha menutupi matanya. Sepertinya ia sangat terharu sekaligus menahan malu. Seluruh mukanya tampak merah.

"Hmm... Ada sih yang bisa lu lakukan. Kalau... kita semua bisa menjadi teman bersama," Peter ikut menoleh ke arah Edwin dan Ansel yang tampak masih sibuk mendiskusikan kotak hadiah.

"Oh, apa itu?" Stanley menyeka air matanya dengan saputangan dari Peter .

"Stan, tolong bantu gw untuk jaga agar kita gak terpecah belah lagi," ucap Peter dengan wajah penuh determinasi, "Gw gak pengen kerenggangan persahabatan kita semua terjadi lagi seperti kemarin setelah kasusnya Reza. Gw yakin kita semua terluka, tapi setelah kejadian hari ini, gw rasa justru luka kita semua bisa lebih cepat sembuh kalau kita saling support satu lama lain."

Stanley tersenyum dan berjalan beberapa langkah ke depan. Di kejauhan, Ansel dan Edwin tampak menghentikan diskusinya dan memanggil ke arah Peter dan Stanley .

"Fine! Tinggal tunggu Edwin memaafkan lu sepenuhnya. Gw pasti support apapun yang lu lakukan, dan kalau memang diijinkan oleh semua, gw akan bantu menjaga persahabatan kalian. Ini balas budi gw untuk kalian."

Peter tersenyum sambil mengangguk. Setelah itu, Stanley mengulurkan tangannya untuk mengajak Peter berjalan.

"Mari kita mulai lembaran baru persahabatan ini- Duh, gw terkesan kaya narator di film ya. Hahaha," ucap Stanley sambil menggaruk belakang kepalanya setelah Peter menerima uluran tangannya.

Peter tersenyum lebar. Mereka berdua melangkah bersama selama beberapa saat, namun Peter tiba-tiba menghentikan tarikan tangan Stanley .

"Stanley Gunawan...."

Lihat selengkapnya