Beberapa saat yang lalu, seusai acara ulang tahun Peter ...
Edwin tampak menikmati makanannya dengan wajah sedikit sewot.
Kakaknya berkali-kali mendesaknya untuk mencari Peter dan berbaikkan dengannya. Sementara itu, Satria minum kopi sambil mencatat beberapa poin dari pesta ulang tahun ini untuk diangkat menjadi bahan artikel.
"Iya Ci, aku masih beresin makan dulu. Nanti aku pikirin lagi mau baikkan atau gak-nya," kata Edwin sambil menggigit potongan ayam bakar.
"Hehe, bagus. Akhirnya dede aku mulai luluh juga. Nih, aku kasih kamu satu potong lagi ayamnya," Ellie memindahkan satu potong kecil ayam bakarnya ke piring Edwin.
Setelah menyelesaikan makannya, Edwin segera berdiri untuk merenggangkan badan. Sang kakak tampak sibuk memilih foto untuk dia unggah ke Instangram, sedangkan Satria juga masih berkutat dengan persiapan artikelnya.
"Hoi, Edwin . Lu jadinya datang juga ya? Haha," suara Ansel tiba-tiba terdengar dari sampingnya.
Sambil membawa piring berisi salad buah yang sudah hampir habis, ia sudah langsung berjalan menghampiri Edwin yang masih memasang muka sewot.
"Iya, gara-gara lu telepon sih. Kedua saudara gw jadi ikut dengar dan mereka menyuruh gw ikut."
"Hei, gak apa-apa lah Bro. Gw ada satu request kecil nih."
Ansel mengeluarkan gelang tali merah dari saku kemejanya. Ia meminta Edwin membuka tangannya, namun menolak.
"Apaan sih! Gw kan udah bukan sahabat dia lagi. Gw gak mau pake," ujarnya sambil menghempaskan tangan Ansel .
"Ih, geer lu Bro. Gw bukan nyuruh lu pake gelangnya. Gw cuman mau kasih doank ke lu, titipan dari Peter ."
"Huh? Dia sepengecut itu buat minta lu yang ngasih ke gw?"
"Nope. Dia tahu kalau lu terus-terusan menghindar darinya, jadi nyaris gak mungkin dia ngasih ke lu langsung. Ini dia titip untuk lu simpan dulu aja. Kalau lu mau pakai setelah maafin dia, silahkan. Kalau gak, mau dibuang juga boleh."
Edwin tampak berpikir sambil melihat ke arah gelang tersebut.
Haruskah ia mengambil gelang tersebut dan menyimpannya? Tapi kalau dia ambil, berarti dia sebenarnya memaafkan Peter?
Ah, tidak juga sih.
Ansel mengatakan bahwa gelang tersebut baru dipakai kalau ia sudah memaafkannya. Kalau tidak, yah sudah nanti dia tinggal membuangnya saja.
"Ya sudah. Ini gw simpan, tapi bukan berarti gw udah maafin dia lho ya," ucapnya sambil mengambil gelang tersebut dan menyimpannya di saku kemejanya.
"Nah, gitu donk Bro. Oh ya, satu lagi. Peter bilang ada yang mau dia bicarain sama kita semua di kamarnya. Yuk jalan sekarang."
"Euh... Gak mau ah. Kan gw belum maafin dia juga."
Ansel memegang pundak Edwin dan memelankan suaranya.
"Kalau ini ternyata soal hidup dan mati, gimana? Nanti lu nyesal lho. Udahlah, berhubung ini lagi ulang tahun dia. Yuk."
"Hidup mati... Lebay banget. Tapi, ya udah. Awas kalau ternyata gak penting, gw lempar langsung gelang barusan ke mukanya," ucap Edwin sambil pamit kepada kakaknya dan Satria.
***
Malam hari itu, langit tampak mendung. Pohon-pohon di halaman belakang rumah Peter seolah menari akibat hembusan angin kencang. Lampu-lampu yang dipasang di sekitar area halaman dibuat menyala dengan redup, cukup untuk melihat bila ada orang yang berlalu lalang melewati halaman tersebut.
Suara gemuruh kembali terdengar, seolah menjadi alarm bagi manusia di bumi untuk masuk ke dalam peraduan dan bersiap menghadapi turunnya hujan lebat. Rintik hujan akhirnya mulai berjatuhan dengan perlahan.
Namun, tidak semua orang memilih untuk berlari ke dalam rumah atau meneduh di tempat terdekat....