[5 hari sebelum penangkapan Gavin Ariwibawa di Resor Rasa Ater]
*TURALALIT~ TURALALIT~*
Suara bel tamu di rumah Ellie terdengar menggema setelah Ansel menekan tombol bel di depan pagar. Ia tampak datang sendirian dengan mengendarai motor gede kesayangannya, Yamura Vixion berwarna biru. Setelah beberapa saat, Evan membuka pintu rumah dan mempersilahkan Ansel masuk setelah memarkir motornya.
Rumah Ellie berada di kawasan Jakarta Barat. Ia dan keluarganya termasuk keluarga dari kalangan menengah. Rumahnya terdiri dari dua lantai dengan dominasi desain interior putih minimalis. Lantainya menggunakan keramik putih dan jendela rumah cenderung dibuka saat sore menjelang malam hari seperti sekarang untuk membiarkan udara mengalir cukup kencang. Akibatnya, AC di rumah mereka jarang dinyalakan.
"Tunggu di sini ya Kak Ansel. Gw coba panggil si koko dulu. Siapa tahu dia mau keluar dari kamarnya," ucap Evan sambil mempersilahkan Ansel duduk di ruangan makan.
"Oke. Stanley belum datang ya?"
"Hmm, Stanley siapa Kak?" Evan tampak kebingungan.
"Oh, itu teman gw satu lagi yang juga mau datang hari ini. Ya sudah, gak apa-apa. Gw tunggu di sini saja ya."
Evan mengiyakan sambil berlari ke lantai dua dan memanggil kakaknya dengan kencang. Sementara itu, Ansel melihat ke arah berbagai foto keluarga yang dipajang di dinding ruang makan. Selain dengan kedua saudaranya, Edwin juga tinggal dengan ayah dan ibunya yang bekerja sebagai karyawan kantoran. Ansel pernah bertemu dengan ibunya sekali ketika mengantar Edwin pulang kuliah.
Menurut cerita sang ibu, Edwin sengaja memilih untuk kuliah di kampus Taruna Bangsa yang juga berlokasi di Jakarta Barat agar ia bisa pulang sendiri dengan berjalan kaki bila tidak menemukan ojek daring. Edwin masih belum bisa menyetir kendaraannya sendiri, sehingga ia sering meminta dijemput Ellie diam-diam. Sejak Reza menangkap basah dirinya dijemput beberapa bulan yang lalu, ia memutuskan untuk menumpang Ansel bila Ellie tidak bisa menjemputnya.
Setelah beberapa menit berlalu, Ansel mencoba mengirim pesan teks kepada Stanley untuk menanyakan keberadaannya. Sejak kejadian di pesta ulang tahun Peter, Ansel dan Stanley bertukar kontak untuk sesekali berkomunikasi. Mereka berdua jarang berpapasan di lingkungan kampus karena Stanley memilih untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaan sampingannya selesai kuliah.
"Kak Ansel, susah nih," ucap Evan yang muncul tiba-tiba, "Si koko tetap gak bergeming. Dia masih aja ngurung diri di kamarnya. Padahal ini temannya udah datang dari jauh."
"Ya... Gak jauh amat juga sih, Van. Rumah gw cuma sepuluh menit doank jaraknya dari sini."
"Oh, itu cuma ungkapan hiperbola aja kok. Haha," Evan tertawa sambil melihat ke arah jam di dinding.
"Evan, si Edwin sebulanan ini benar-benar gak keluar sama sekali? Gw capek nih, terus-terusan masukin absen dia ke kampus."
Evan menggelengkan kepala sambil mengangkat kedua lengannya sebahu.
"Terus... dia gak mandi atau buang air sama sekali, gitu?" tanya Ansel dengan wajah bingung.
"Nah itu... Gak tahu sih. Mungkin si koko sudah siapin kantong plastik untuk menampung semua kotorannya, kali?"
"Evan... Kalau benar seperti itu, lu pasti sudah mencium wangi-wangi gak enak donk di sekitar kamarnya. Ada bau gak?"
"Hmm...," Evan menggaruk-garuk kepalanya sambil memperlihatkan tampang berpikir keras, "Gak ada sih Kak."
"Sip. Terus, gimana dengan komunikasi? Dia mau nerima rangkuman yang sudah gw bikin dengan susah payah itu kan?"
Evan mengangguk kencang sambil mengiyakan Ansel. Ia juga bercerita bahwa ia hampir tidak pernah berbicara secara langsung kepada dirinya, Ellie, maupun kedua orangtuanya. Jika memang perlu, ia akan memanggil dirinya atau Ellie melalui pesan teks di aplikasi WhatsUp. Orang tua mereka sempat berencana untuk meminta bantuan psikolog dan pendeta, tapi Edwin menolak tegas.
"Kak Ansel, gw jujur belum pernah merasa kehilangan orang dekat sih. Nenek gw dulu meninggal waktu gw masih balita, jadi gak begitu kerasa. Kalau orang yang sangat dekat dengan kita meninggal, apa memang sampai sebegininya ya?"
Ansel tampak diam sebentar sebelum menjawab.
"Sebenarnya, setiap orang berbeda-beda sih. Ada yang cepat pulih dari kondisi duka, ada juga yang bisa makan waktu sampai berbulan-bulan. Ekspresi yang mereka tampilkan juga berbeda-beda. Ada yang mudah menangis, sulit tidur, gak bisa makan, mengurung diri, atau melampiaskannya dengan cara-cara yang mungkin jarang dilakukan."