Menjelang jam sepuluh pagi, keluarga besar dari pihak Riki sudah mulai berdatangan untuk berpartisipasi dalam proses sangjitan.
Sesuai dengan tradisi di budaya Tionghoa, proses ini akan dimulai dengan menyerahkan seserahan seperti uang angpao, buah-buahan, dan pakaian. Setiap jenis seserahan dikumpulkan pada baki hantaran berwarna merah yang akan dibawa oleh beberapa anggota keluarga dari pihak mempelai pria yang belum menikah.
Di depan rumah Mira, para anggota keluarga Riki sedang membantu perwakilan WO untuk menyiapkan baki hantaran tersebut. Beberapa anggota keluarga besar ada juga yang terlihat mengobrol dengan anggota keluarga besar Mira. Hampir semua orang mengenakan busana formal atau semi-formal dengan nuansa merah.
Mira sendiri tampak sedang mengatur posisi anggota keluarganya yang bertugas menyambut pembawa seserahan di ruang tamu. Ia sendiri sudah selesai merias diri dan mengenakan gaun terusan berwarna merah gelap polos.
"Kungkung nanti di depan duluan ya, terus A'i Rita di sini."
"Duh A'i Mira, ini udah mau mulai belum ya?" celetuk seorang anggota keluarga, "Aku pengen ikut ke toilet dulu boleh?"
"Iyah gapapa donk A'i. Itu di depan masih lagi siapin baki. Sok ke toilet dulu."
Setelah mempersilahkan anggota keluarganya ke toilet, Mira melihat sepintas ke luar rumahnya. Baki-baki hantaran tampak hampir siap untuk dibawa, namun anehnya calon mempelai pria alias Riki masih belum terlihat batang hidungnya.
Saat seorang anggota WO berjalan masuk ke dalam rumahnya, ia langsung mencegat orang tersebut untuk menanyakan keberadaan Riki.
"Nah, itu dia Tante. Saya barusan dapat kabar, katanya Ko Riki dan kedua orangtuanya masih terjebak di tol Cawang karena ada kecelakaan," jawab si anggota WO dengan tampang panik.
"HAH? Kecelakaan?"
Anggota WO tersebut langsung meminta Mira memelankan suaranya agar tidak menimbulkan kepanikan kepada kepada anggota keluarga lain.
"Terus dia dan keluarga gimana? Aman?"
"Puji Tuhan, aman Tante. Tapi mereka jadi terjebak macet. Ini sangjitannya bisa jadi mundur dulu. Saya mau lapor ke atasan saya-"
"Eh, gak usah. Sangjitannya jalan kayak biasa aja. "
"Maaf, maksud Tante?" tanya anggota WO tersebut dengan wajah kebingungan, "Kalau mempelai prianya gak ada, sangjitannya jadi gak benar-"
"Udah gak apa-apa. Percaya sama Tante. Nanti Tante pandu si Riki jalan pintas keluar dari tol sana biar cepat sampe ke sini."
Anggota WO tersebut diam sejenak karena kebingungan.
"Oh, ya sudah Tante," ucapnya sambil melihat arloji miliknya, "Tapi saya tetap laporan dulu saja untuk jaga-jaga ya."
"Oke. Oh, ya, mereka ke sini pakai mobilnya si Riki kan ya?"
"Uh," anggota WO tersebut berpikir sejenak, "Iya harusnya sih Tan."
"Ya ya ya udah. Makasih. Sana," Mira 'mengusir' anggota WO tersebut.
Setelah orang tersebut pergi, Mira bergegas masuk ke dalam ruang keluarga untuk menuju ke pintu belakang.
"Mah."
Saat hampir masuk, Karen sempat memanggil dan menghampiri dirinya.
Ia tampak cantik dengan gaun terusan merah delima yang berhiaskan butiran mutiara di sekitar dada dan pinggangnya. Ia tidak menggunakan kacamata karena menggunakan lensa kontak.
"Mah, tadi Riki bilang ke aku kalau dia kayaknya telat gara-gara ada kecelakaan di tol. Aku kasih tahu ke WO-nya ya untuk masukin dulu aja keluarganya. Kasihan kalau nunggu di luar terus."
"Gak usah, gak akan telat kok. Gak apa-apa kok mereka nunggu kayak biasa di luar."
"Hah?" dahi Karen mengernyit, "Mamah gak salah ngomong? Kalau macet, dari Cawang ke sini bisa minimal satu jam lho. Apalagi ini Sabtu menjelang siang."
"Udah, gak apa-apa. Kamu tunggu aja bareng Friska di sana, nanti mereka pasti tetap sampai ke sini tepat waktu kok. Percaya sama Mamih."
"Mah? Maksudnya gimana sih? Gimana caranya mereka bisa sampai dalam sepuluh menit?"