Superpower - Your Life Is The Price

Alexander Blue
Chapter #148

Teleportation - Bagian 12

"Duh, kenyang banget," celetuk Stanley selesai menghabiskan sepiring nasi uduk.

"Gak mau nyoba lagi salad gw, Bro? Yang ini dikasih sambal pedas gitu, rasanya lebih maknyus dari salad yang gw makan tadi sebelum makan nasi," ucap Ansel sambil menyodorkan mangkok salad keduanya hari ini.

"No, thanks. Mungkin efek tadi pagi gw sarapan nasi dan belum nge-gym, jadinya siang ini kekenyangan banget," balas Stanley sambil melihat-lihat ke sekitarnya.

Sambil menyelesaikan makan siangnya, Edwin melirik ke arah Stanley yang tampak tidak tenang. Sementara itu, Ansel terlihat cuek makan salad sambil melihat-lihat lini masa media sosial Twittur.

"Lu kenapa dari tadi lirik-lirik sekitar melulu? Ada stalker lu?" tanya Edwin sambil mengunyah sisa paha ayam di piringnya.

"Ah, pasti karena masih ada aja orang yang bingung kenapa kita tigaan bisa duduk bareng, padahal sebelumnya musuhan," tukas Ansel tanpa melepas pandangan dari ponselnya.

"Well, no. Ini beda," Stanley melihat-lihat ke arah meja mereka, "Gw baru nyadar. Meja tempat kita duduk sekarang ini... Dulunya tempat duduk kalian saat melihat Gisela jatuh didorong gw ya?"

Mendengar kalimat tersebut, Edwin melihat ke arah meja makan yang terletak jauh di hadapan mereka. Beberapa bulan yang lalu, ia dan teman-temannya sedang membicarakan kekuatan Psychokinesis yang baru saja Reza dapatkan lewat aplikasi Superpower.

Saat sedang asyik berbincang, mereka menyaksikan Gisela didorong jatuh Stanley. Di situlah mereka pertama kali berkenalan dengan Gisela.

"Iya, si Reza langsung inisiatif berjalan mendekati kalian berdua waktu itu. Emangnya kena- Eh, lu kok bisa tahu kita duduk di meja ini?"

"Soalnya meja tempat kita duduk sekarang tuh posisinya di tengah dan gak terhalang pilar bangunan. Dulu, gw dan Gisela duduk di sebelah sana," tunjuk Stanley ke arah meja makan yang berada di dekat pilar bangunan, "Dan, dia langsung menjatuhkan dirinya sendiri untuk bikin keributan."

"Hah?" ucap Edwin dengan tampang terkejut, sedangkan Ansel hanya melirik. "Jadi bukan lu yang ngedorong dia?"

"Bukan. Awalnya memang dia nyuruh gw dorong dia, tapi gw belum siap karena... lagi mikirin beberapa hal lain," Stanley menunduk sejenak, "Terus dia langsung ngejatuhin diri sendiri dan gw harus langsung sandiwara teriak-teriak. Itu sumpah, gw nahan malu sebisanya."

"... Seram banget yah tuh cewek."

Stanley mengangguk setuju, kemudian kembali berbicara.

"Dan... Lu ngerasa gak sih? Sepertinya dari tadi ada yang ngawasin kita."

Edwin langsung melihat-lihat ke sekitarnya, namun tidak mendapati seorangpun yang sedang melirik ke arah mereka.

"Serius lu? Mungkin bukan ngawasin, tapi memang fans-nya lu aja kali."

"Nope, gw merasa bukan gw doank yang diawasi, tapi kita bertiga secara umum. Kalau memang cuman ulah cewek atau cowok yang diam-diam stalking gw, gw gak akan komen kayak barusan," Stanley masih memperhatikan sekitarnya, "Cuman, kayaknya mereka udah gak gak begitu ngawasin kita lagi sih."

"Astaga. Saking terbiasanya lu dulu di-stalk, sampai jadi bisa ngebedain mana yang beneran cuman fangirling fanboying dan mana yang bukan...."

Stanley mengangguk berkali-kali sambil tetap memasang mata mengawasi ke sekitarnya.

"Yup. Kalau cewek fangirl, mereka biasanya tertawa-tawa kecil kalau bareng temennya. Tapi kalau sendirian, biasanya mereka sengaja pegang hape yang diangkat ke depan wajahnya. Sama dengan cowok yang fanboy juga begitu, meskipun gw jarang nemu fanboy gw sih. Yah wajar sih, yang begitu di Indo gak begitu umum."

"... Gw gak tahu harus kagum atau gimana. Ternyata gw berteman sama artis," celetuk Edwin sambil menyeruput es teh manis.

Pria berambut buzz cut tersebut sudah selesai menghabiskan makanannya dan tampak menikmati minumannya.

"Kagum atau iri?" tanya Stanley sambil menyengir tiba-tiba.

"Heh!" Edwin membalas dengan tatapan sinis, "Mulai ya ni anak keluar wajah busuknya? Kalau gw bongkar preferensi lu ke orang-orang lain, siap-siap aja kena banyak hujatan."

"Oh, kayaknya ide bagus juga. Biar banyak yang berhenti kejar gw dan justru mulai lebih ada cowok juga. Entar lu juga bakalan kena imbas meladeni mereka ya. Haha."

"Err... Kalau cewek yang mendekati gw jadi ikut berkurang, sayang juga sih ya," Edwin tampak berpikir serius.

"Nah kan? Nanti kalau lu jomblo terus gimana? Haha!"

"Hah?" wajah Edwin memerah, "Siapa yang bilang gw jomblo seumur hidup? Si Peter ya?"

Stanley tampak mulai berani untuk bercanda dengan Edwin, sedangkan Ansel tersenyum kecil melihat pemandangan tersebut.

Lihat selengkapnya