Superpower - Your Life Is The Price

Alexander Blue
Chapter #157

Teleportation - Bagian 21

Mira tampak lesu saat turun dari mobil yang ditumpanginya bersama anggota tim WO dan Friska.

Seusai parkir di halaman luar gereja, ia dan Friska berjalan pelan memasuki gedung gereja. Beberapa orang tampak mendatangi Mira untuk memberikan ucapan selamat atau berbasa-basi sekedarnya, namun Mira memilih untuk mengakhiri setiap percakapan yang timbul secepatnya.

"Mah, kayaknya Mamah gak semangat ya?" tanya Friska yang menggandeng lengan sang ibu.

"Eh, Mamih gak apa-apa kok. Mungkin agak capek aja karena kurang tidur."

"Tapi... Tadi aku lihat, Mamah langsung murung setelah telepon cici. Mamah berantem sama cici?"

Kegalauan hati Mira membuatnya sulit untuk menyembunyikan ekspresi sedih saat ditanya seperti itu oleh Friska. Ia memilih untuk membuang muka dan mengatakan kalau 'semua pasti baik-baik saja'.

"Mah, Papah kan gak keburu untuk bisa ikut kebaktian. Jadi pasti gak baik-baik aja donk buat cici."

"Iya, tapi Mamih percaya kalau Karen itu gak akan terlalu mikirin hal itu. Masih ada kemungkinan nanti malam si Papih datang."

"Tapi... Kayaknya cici pengen kita lengkap ada pas lagi pemberkatan nanti deh, Mah."

Karen menghela nafas sebentar, kemudian mengajak Friska untuk duduk di bangku terdekat. Masih ada waktu sekitar dua puluh menit sebelum kebaktian mulai. Selain itu, semua persiapan harusnya sudah dilakukan oleh tim WO sehingga Mira merasa punya cukup waktu.

"Fris, dulu juga Mamih waktu di pemberkatan di gereja gak ada oma (nenek), acaranya lancar saja."

"Terus Mamah udah sempat cerita ke cici?"

Mira diam sejenak. Bola matanya sempat melihat ke berbagai arah sebelum menjawab.

"... Belum sih," jawabnya sambil menggaruk lengan, "Iya, mustinya Mamih bilang ke dia biar gak usah terlalu kepikiran soal Papih ya."

"Hmm, Mamah kenapa jarang cerita-cerita sama cici? Aku lihat, kayaknya cici suka jadi salah paham sama Mamah deh."

Mira tersentak kaget. Ia sempat melemparkan pandangan ke sekitarnya sebelum akhirnya kembali melirik sang anak bungsu.

"Oh, masa sih? Kayaknya dia baik-baik aja-"

"Aku kemarin malam sempat dengar cici teriak ke Mamah lho. Kayaknya, Mamah tuh jarang cerita atau ngobrol-ngobrol ke cici dibandingin sama aku."

"Jadi, maksudnya Mamih salah? Gitu?" wajah Mira mulai sedikit mengernyit.

"Bukan salah-salahan, Mah. Ini sih cuman karena aku ngeliat cici sama Mamah itu kayak kurang saling terbuka. Kejadiannya juga sama kayak sahabat aku, si Sherly, sama kokonya. Sekarang jadi nyesal deh."

"Maksudnya kamu?"

Friska menceritakan sepintas mengenai Sherly yang dulunya sering berbagi cerita dengan kakaknya, Stanley. Seiring bertambahnya umur, mereka sudah mulai jarang saling bercerita ataupun terbuka satu sama lain. Akibatnya, Sherly sempat merasa gak punya tempat untuk bercerita yang lebih pribadi.

"Aku juga, salahnya gak nyoba nanya langsung kebenaran soal hubungan dia sama mantan guru olahraga kita, Pak Mario. Jadi aja sekarang dia koma..."

"Lho, kenapa itu malah bikin dia koma? Kata kamu, Sherly diajak bunuh diri sama guru itu kan?"

"Euh... Iya, Mah. Jadinya Sherly kan akhirnya malah nurut diajak loncat. Gitu," ucap Friska sambil terlihat memasang senyum yang agak dipaksakan.

Mira merasa anaknya menyembunyikan sesuatu, namun setidaknya ia bisa menangkap maksud dari cerita Friska. Ia menundukkan kepalanya untuk berpikir.

"Fris... Mamih, orang tua yang buruk ya?" tanyanya mendadak dengan kepala tetap menunduk, "Mamih sampai mengabaikan perasaan Karen, cuman karena Mamih merasa kalau dia juga pasti bisa mengatasinya seperti Mamih dulu."

"Ya... Kalau kata aku sih, Mamah sebenarnya baik kok. Cuman ya itu, kurang komunikasi. Sama kayak Tine yang ngambek ke Sarawat pas dekat akhir film gara-gara kurang komunikasi."

"Itu... Oh, dari film yang kamu suka tonton itu ya?"

Friska mengangguk sambil memperlihatkan wallpaper film 2Gether The Series yang ia pasang di ponselnya.

"Mereka akhirnya resmi jadian setelah beresin masalah komunikasi mereka, Mah. Ayo donk, Mamah juga. Aku pengen lihat cici dan Mamah happy di hari ini. Apalagi nanti sehabis Mamah kasih lihat gambar yang sudah Mamah bikin waktu itu."

"Happy ya...," Mira menggumam pelan sambil tertunduk.

Bagi Karen, saat ini ia akan lebih bahagia bila Frans bisa datang dan ikut menyaksikan pemberkatan pernikahannya secara langsung.

Seandainya ia lebih cepat menyadari apa yang membuat putri sulungnya bahagia, mungkin hubungannya dengan Karen akan tetap berjalan dengan baik. Ia mulai merasa menyesal karena sering mengasumsikan bahwa putrinya akan baik-baik saja dalam kehidupannya, tanpa pernah mencoba untuk berkomunikasi dengannya.

Lihat selengkapnya