Suasana hati Karen sejak 'meledak' kepada ibunya sebelum kebaktian perkawinan dimulai sangat buruk. Di satu sisi, ia sangat tegang menghadapi prosesi pernikahan yang akan berlangsung panjang hari ini. Di sisi lain, ia sebenarnya merasa tidak enak karena berteriak kepada Mira yang tidak terlihat menganggap pernikahannya sebagai sesuatu yang penting.
Ia merasa dirinya egois karena menginginkan ayahnya hadir juga, namun bukankah itu wajar?
Ia hanya ingin pernikahannya berjalan lancar. Pernikahan yang seharusnya hanya ia lakukan sekali seumur hidup.
Ia yakin bahwa Riki akan menjadi pendamping hidup hingga akhir hayatnya.
Inilah bukti bahwa dia sudah dewasa dan mandiri untuk mengambil keputusan hidup yang signifikan. Oleh karena itu, ia ingin kedua orangtuanya hadir secara langsung dan menyaksikan perjalanan hidupnya yang akan dimulai bersama Riki.
Saat berjumpa dengan Riki di depan pintu utama ruang kebaktian, Karen berusaha bersikap normal. Ia tidak ingin terlihat sedih atau lesu. Riki orang yang perfeksionis, sehingga ia mungkin akan berpikir ada sesuatu yang salah di prosesi pernikahan mereka yang membuat Karen sewot.
'Kalau dipikir secara logika, harusnya tidak apa-apa Papah gak sempat hadir... Tapi, kenapa gw tetap merasa sedih...'
Saat kebaktian dimulai dan Karen berjalan pelan menuju ke altar bersama calon suaminya, Karen sempat hampir ingin menangis kembali. Namun, untunglah kerudungnya mengaburkan pandangan semua orang di sekitarnya terhadap dirinya. Riki juga masih tampak normal, belum menyadari jika raut wajahnya sedikit kusut.
Begitu pendeta mulai memanjatkan doa pembuka, Karen melihat ibunya tiba-tiba bangkit dari jejeran kursi keluarga dan meninggalkan ruang kebaktian. Apakah sang ibu akhirnya mulai merasa bahwa ia telah salah merestui dirinya dengan Riki?
"Gak apa, Ren. Mungkin mau ke WC."
Suara Riki yang dipelankan tersebut agar tidak mengganggu doa dari pendeta membuat dirinya sedikit tenang. Sang calon suami sepertinya terus memperhatikan dirinya sejak tadi. Ia benar-benar bersyukur mendapatkan Riki yang begitu perhatian sebagai pendamping hidupnya.
'Tapi... Perasaan gak tenang ini... Mungkin karena kejadian kemarin malam dan tadi... Mamah...'
Sepanjang kebaktian perkawinan berjalan, pikiran Karen mulai bercabang ke mana-mana.
Mira belum kembali masuk sejak meninggalkan ruang kebaktian di awal prosesi. Pikirannya bahwa Mira tidak menyetujui pernikahan ini semakin menyeruak. Bukan itu saja, mungkin Mira juga sadar bahwa ia bukanlah putri yang baik.
Sejak dulu, Karen selalu merasa bahwa ibunya tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai anak. Ia memang hampir tidak pernah dimarahi, namun juga tidak pernah dipuji. Semua hal yang ia lakukan hanya dianggap angin selewat oleh sang ibu. Berbeda dengan adiknya, Friska, sang ibu tampak lebih terbuka dan memberi pujian kepadanya.
Ia juga merasa bahwa sang ibu tidak pernah memberikan opini yang serius untuk kegiatan apapun yang hendak dilakukannya, sekalipun kegiatan tersebut sangat signifikan. Misalnya, pendidikan S2, pekerjaan, maupun calon suami. Apapun yang akan dia lakukan, sang ibu cenderung mengiyakan tanpa memberi opini yang memuaskan.
'Mungkin... Gw bukan anak kandungnya Mamah kali ya... Lihat aja, nanti paling dia akhirnya bilang gak setuju gw merit sama Riki...'
Wajah Karen perlahan menjadi lesu.
Ia sudah merasa sulit untuk menyembunyikan ekspresinya, meskipun ia sadar bahwa calon suami yang berdiri di sampingnya sudah mulai menyadarinya. Riki terlihat lebih tegang dan kurang konsentrasi terhadap aba-aba dari pendeta, sepertinya ia sudah mulai berpikir ada sesuatu yang salah yang mengakibatkan dirinya tampak tidak bersemangat.