Superpower - Your Life Is The Price

Alexander Blue
Chapter #176

Invincibility - Bagian 14

Ansel membuka salah satu halaman buku menu Restoran Daebak Chingu dan menunjuk ke salah satu gambar makanan yang tampak pedas, Red Tteokbokki. Ia meminta Elisa untuk mendekat sedikit agar bisa melihat lebih jelas menu yang sedang ditanyakannya.

Bila dilihat oleh orang lain, adegan ini sepintas terlihat seperti Ansel yang sedang kebingungan dengan makanan apa yang sebaiknya harus dipesan. Namun, sesungguhnya ia hanya berakting agar bisa mengobrol dengan Elisa tanpa menimbulkan kecurigaan dari orang di sekitarnya.

"Duh, jadi pedas banget ya. Kayaknya, aku perlu orang yang doyan makanan pedas buat temani makan nih," goda Ansel sambil melirik ke arah Elisa.

Raut wajah Elisa sedikit menegang sambil menggelengkan kepalanya.

Rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda saat bekerja ikut bergoyang pelan. Sepintas, gaya rambutnya mengingatkan Ansel pada gaya rambut sehari-hari Ellie, minus poni rambut Elisa yang nyaris tidak ada.

"Ansel aku di sini masih bekerja. Tidak etis kalau aku tiba-tiba berganti pakaian dan duduk bareng kamu sebagai tamu. Nanti saja ya kalau sudah beres shift kerja aku."

"Nah, kalau aku tunggu, paling kamu menghilang lagi kayak biasa," jawab Ansel dengan mimik muka yang sedikit muram, "Apalagi, belakangan kamu gak pernah balas WA aku."

"Oh, maaf. Belakangan aku ambil shift tambahan untuk dapat uang tambahan sih."

Wajah Elisa terpasang datar sambil melirik ke sembarang arah.

Saat melihatnya, entah mengapa Ansel merasa ingin mengelus pipi dan bibinya yang merah gelap tersebut seperti yang pernah ia lakukan beberapa bulan lalu saat masih sering berjumpa dengannya.

"Oke," Ansel membalik halaman menu beberapa kali dan menunjuk ke arah Gimbap, "Kalau begitu aku langsung aja bilang kalau aku juga lagi cari penghasilan tambahan."

"Kamu?" Elisa kembali memandangnya, "Untuk apa?"

"Hei, aku gak tanya lebih jauh lho kamu kenapa butuh banyak tambahan duit," Ansel menyengir ke Elisa, "Kecuali kamu mau cerita duluan."

Elisa terdiam sebentar sambil memandangi Ansel.

Ekspresi mukanya tetap tidak berubah meskipun keduanya kini saling berpandangan. Bola matanya yang berwarna coklat gelap seolah memancarkan aura yang menghalangi Ansel untuk bertanya lebih dalam.

"... Iya, aku paham. Jadi, kamu mau part-time di sini? Jumlah orang kita masih cukup kok-"

"Ah, bukan. Bukan di sini. Yang kamu tawarin waktu itu lho," sela Ansel sambil membalik lagi halaman menu.

'Ayo El. Kamu pasti paham kan maksud aku kalau kita lagi bukan bicara soal menu makanan di sini?'

Ansel memperhatikan Elisa yang tampak diam untuk berpikir sejenak. Sebentar kemudian, pupil matanya membesar, seolah mengerti apa yang sesungguhnya Ansel ingin tanyakan.

"Oh, yang itu ya...."

Elisa membantu Ansel membalik beberapa halaman menu hingga memunculkan daftar makanan berjenis Bulgogi. Di bawahnya, terdapat tulisan paket promo spesial untuk pemesanan dua set Bulgogi dengan minuman.

"Ini sangat terbatas sih. Kalau sudah dipesan, tidak bisa dibatalkan. Rasanya hampir pasti enak, meskipun mungkin ada beberapa orang yang tidak cocok. Kamu yakin mau pesan ini?"

'Sip. Saatnya menggali informasi lebih dalam soal tawaran kerja sampingan aneh yang dulu pernah dia tawarin. Semoga siapapun yang kebetulan dengar, termasuk si Om Kampret, cuma mengira kalau aku dan Elisa ngomongin makanan doank.'

Ansel tersenyum tipis setelah melihat gambar menu tersebut kemudian menengok ke arah Elisa. Ia mengikuti arahan wanita tersebut untuk seolah berbicara tentang menu bulgogi.

"Nah, supaya yakin cocok dengan selera aku, boleh donk kalau aku tanya-tanya."

"Baik, tapi mohon tanya yang cepat karena aku harus melayani pengunjung yang lain."

"Ini katanya salah satu signature dish di restoran ini kan. Sudah dari kapan difitur di sini?"

Elisa melirik ke sekitarnya tanpa menggerakkan kepalanya, kemudian menjawab dengan perlahan.

"Sudah dari lama kok. Sejak aku bekerja di sini, menu ini sudah termasuk ke dalam salah satu andalan di sini."

"Oh, berarti yang pesannya pasti banyak ya?"

"Bisa dibilang begitu. Tapi, seperti yang aku sebutkan tadi, rasanya memang enak namun gak semua orang cocok. Ada yang pesan berkali-kali karena suka, ada juga yang hanya pesan sekali namun malah memutuskan untuk tidak mau makan lagi di sini."

Wajah Ansel sedikit menegang mendengar penjelasan tersebut.

"Kenapa bisa begitu?"

"Sekali mereka merasa tidak cocok, mereka langsung menganggap semua makanan di sini tidak pas untuk mereka. Akibatnya, mereka tidak pernah kembali lagi ke sini dan kami juga tidak tahu bagaimana kabar mereka."

Lihat selengkapnya