Sejam setelah selesai mengunjungi kakaknya di kantor polres Metro Jakarta Barat, Tommy sudah tiba di mal Central Park untuk menemui kekasihnya. Bagian dalam gedung mal tersebut lumayan dipadati oleh para pengunjung karena hujan besar yang turun di luar sejak tadi.
Tommy segera berjalan turun ke area bawah tanah sambil berjuang melewati kerumunan orang. Chisa sudah menunggunya di salah satu restoran kari Jepang sejak lima belas menit yang lalu sebelum restoran tersebut dipadati oleh para pengunjung mal yang kelaparan.
'Biarpun sudah berkali-kali ke sini, tetap saja gw gampang nyasar ya. Luas banget sih area underground ini.'
Sambil menggerutu dalam hatinya, Tommy terus memperhatikan papan nama restoran di sekelilingnya. Ia mencoba mencari papan nama 'Kari Haus', restoran kari tempat Chisa menunggu dirinya, namun tidak kunjung menemukannya meski sudah berjalan selama hampir sepuluh menit.
'Duh, apa gak ada satpam atau petugas jaga ya? Atau, gw coba telepon Chi-'
*DUK!*
Tommy menyenggol seorang wanita yang berjalan ke arahnya tanpa sengaja. Ia segera membantu wanita berkacamata yang mengenakan baju dan rok berwarna ungu gelap tersebut untuk berdiri.
"Sori. Sori. Saya kurang perhatian karena lagi cari resto- Eh, Karen?"
"Wah, Tom," Karen membetulkan bajunya yang sedikit kusut, "Gw juga sori karena kurang perhatian jalan. Gw lagi chat suami gw soalnya."
"Oke. Eh ya, how are you now? Gw perasaan jarang ngelihat lu di kantor sekarang."
"Oh, gw coba manage aja sih, Tom," Karen tersenyum tipis, "Gw masih sedih sepeninggal mama gw, tapi sekarang sudah lumayan bisa mengontrol emosi gw sih."
Tommy mengangguk pelan dan membalas senyum juga. Ia mengajak Karen untuk berjalan ke tepi agar tidak menghalangi kerumunan orang yang lewat.
"Terus, gimana honeymoon lu? Silas pasti kesepian gara-gara lu pergi merantau berdua."
"Ah, itu... Gw dan suami gw jadinya mundurin honeymoon kita ke akhir Desember."
"Oh, karena masih masa duka ya?"
"Iya, itu satu. Tapi, sekalian juga supaya gak menganggu sisa kerjaan gw."
Tommy melipat tangan sambil mengangguk pelan.
"Wah, mantap. Jadi, minggu-minggu terakhir di tahun ini jadi santai ya di kantor. Haha."
"Oh, bukan Tom," Karen membetulkan posisi kacamatanya, "Gw udah resign sebelum Natal nanti."
Wajah Tommy tampak terkejut dan terdiam selama beberapa detik, seolah mencerna apa yang baru saja didengarnya.
"Oh, congrats ya. Yah, akhir tahun memang bagus sih buat ganti karir. Lu yang apply sendiri atau di-hijack?"
"Gw tiba-tiba di-offer sih. Lucunya, suami gw juga dapat offer di waktu yang hampir bersamaan, tapi buat perusahaan lain sih."
"Hm. Jadi, bukan karena lu yang lu-pa pernah apply di perusahaan itu entah kapan?" Tommy memegang dagunya dengan lagak seperti detektif dan tersenyum mengejek.
"... Bisa ngejek juga nih ya akhirnya," Karen terkikih kecil, "Mood lu kayaknya bagus. Udah berhasil jenguk koko lu?"
"Iyap," Tommy berkacak pinggang, "Akhirnya gw dapat kejelasan sih. Eh ya Ren, gw sekalian mau make sure. Lu yakin kan sempat melihat gw dan koko gw diinterogasi polisi di resor saat malam pembunuhan Bu Samantha?"
"... Lupa sih. Kenapa?"
"Serius?"
"Gak," Karen mengibas tangan, "Iya, gw ingat kok. Jadi, itu kenapa?"
"Ren," Tommy mulai berbisik, "Lu percaya dengan kekuatan super gak?"
Wajah Karen tampak kebingungan. Dari reaksinya, ia pasti tidak atau belum pernah mendengar tentang kekuatan super yang dapat diperoleh dari aplikasi Superpower.
Tommy segera mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi tersebut sambil menunjukkannya kepada wanita berambut keriting tersebut. Tidak ada kekuatan super apapun yang tercantum di bagian profilnya.
"Ini aplikasi Superpower. Lu pernah dengar?"
"Iya, pernah. Dulu, si anak magang yang gw lupa namanya itu sempat heboh nyuruh Mike, gw, dan lainnya untuk download dan cobain. Aplikasi ini sempat viral di Twittur kan."
Dahi Tommy mengernyit.
"Sebentar. Mike sudah pernah download duluan aplikasi ini?"