"Habis dari mana saja kau?" tanya sang ayah saat Reza tiba di rumah.
"Habis nonton Pak, bareng Ansel sama yang lainnya. Cuman lewat jam malam sedikit kan?" balas Reza sambil berjalan cepat ke dapur dan mengambil sepotong kue pukis yang dibuat sang ibu sore tadi.
"Kau ini nak, jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam lewat lima menit! Bapakmu ini khawatir kalau kau kenapa-kenapa di jalan!" Sang ayah mulai gusar sambil menasihati dengan nada meninggi, "Jakarta tidak seaman yang kau kira, nak! Hampir setiap hari Bapak berurusan dengan penjarah, pengutil jalanan, pengedar narkoba, pembunuh, pemer-"
"Sudah, sudah Pak. Ibu saja tak masalah kok, hanya lewat lima menit saja. Bapak ini terlalu ketat ngurusin anak, nanti Reza kabur lho seperti anaknya Bu Marsinah," sela Bu Miriam sambil menyiapkan segelas susu murni untuk diminum Reza .
Ayah Reza , Pak Bonar , hanya manggut-manggut saja menuruti perkataan istrinya yang bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta. Meskipun bekerja sebagai kepala polisi wilayah Jakarta Barat yang terkenal akan ketegasan dan kegalakkannya, ia benar-benar tidak berdaya di hadapan istrinya.
Menurut salah satu rumor yang sempat beredar di grup WhatsUp keluarga besar, Bu Miriam dulu pernah 'menghabisi' dua orang penjambret yang hendak mencuri tasnya saat perjalanan pulang dari tempat kerjanya sampai tak berdaya. Pak Bonar yang masih merupakan polisi pemula berada di sekitar tempat kejadian dan hendak menolong, malah berbalik menghentikan Miriam untuk menghajar lebih jauh para kawanan penjambret.
Bahkan Pak Bonar sempat terkena hantaman secara tak sengaja dan mengakibatkan luka codet di pipinya yang tak kunjung hilang hingga sekarang. Di situlah pertemuan pertama mereka terjadi, hingga kemudian menikah dan menghasilkan Reza sebagai putra tunggal mereka.
Satu hal yang unik adalah sang anak tidak ikut mewarisi logat bicara ayahnya. Reza dan keluarganya tinggal bersama keluarga besar mereka dalam kurun waktu yang lama sebelum Pak Bonar akhirnya membeli rumah sendiri. Gaya bicara sepupu-sepupunya yang mempengaruhi cara berbicara Reza sekarang, yaitu logat Jakarta umum.
"Oh yah. Pak, aku ada mau tanya sebentar soal contoh kasus pidana di textbook."
"Boleh nak. Bapak bangga kau selalu semangat kalau belajar tentang hukum."
"Iyah donk Pak. Cita-cita aku jadi hakim untuk bantu ngadilin para penjahat yang Bapak tangkap," jawab Reza sambil mengeluarkan buku pengantar Hukum Pidana beserta catatan yang tadi ia buat di kelas.
"Kamu yakin nih nak, tidak mau ikut jejak Ibu saja jadi tenaga kesehatan? Itu juga bagus lho," Bu Miriam ikut bergabung dalam diskusi tersebut sambil duduk.
"Iyah Mak (mama), dari dulu aku paling semangat tiap dengerin cerita Bapak nangkap penjahat. Apalagi, pas dua bulan lalu Bapak menangkap penjahat kelas kakap kayak Jonru Kapak Besi yang pengedar narkoba itu. Keren banget kayaknya terlibat bekerja di bidang kriminal atau advokat."
Pak Bonar mengusap kepala sang anaknya.
"Yah, tapi aku sadar kalau aku orangnya gak galak, pendek, dan lemah fisik. Gak kayak Bapak yang cekatan dan tinggi. Daripada ikutan jadi polisi yang turun ke lapangan, aku ngerasa lebih senang kerja di balik meja sih."
"Itu terserah kau saja nak. Bapak mendukung kamu mau jadi apapun. Setiap pekerjaan itu punya susahnya masing-masing. Ada kalanya kamu akan dihadapkan oleh pilihan yang sangat sulit dalam pekerjaanmu, apalagi seorang hakim."
"Iyah nak. Ibu dan Bapak selalu mendukung kamu kok. Jangan terlalu kelelahan belajar dan jaga diri kau baik-baik ya nak," ucap Bu Miriam yang kini mengusap kepala Reza .
"Oke!" jawab Reza sambil tersenyum. Ia senang disayang oleh kedua orangtuanya.
Mereka lanjut berdiskusi tentang contoh kasus yang ingin ditanyakan oleh Reza . Sesekali, mereka membicarakan juga tentang kehidupan Reza selama kuliah atau cerita masa lalu Pak Bonar dengan salah satu mantan pacarnya sebelum bertemu Bu Miriam .