Beberapa puluh menit kemudian, Reza sudah berkumpul dengan semua teman-temannya, termasuk Ansel yang ternyata sempat pergi membeli salad buah di salah satu stand makanan.
Sesuai rencana, pertama Gisela menghubungi Stanley untuk melanjutkan transaksi mereka di aula gedung lama fakultas Teknik Industri yang akan dibangun ulang. Tempat tersebut dianggap ideal karena tidak begitu dijaga, apalagi saat acara K3. Tenaga pengamanan kampus tentu akan lebih fokus menjaga jalannya acara dengan tertib.
Kedua, Reza dan Ansel akan pergi bersama-sama untuk menghadapi Stanley beserta semua bawahan yang mungkin dibawanya. Ansel memiliki pengalaman ilmu bela diri yang didapatnya saat mengikuti ektrakurikuler Tae Kwon Do di SMA-nya dulu. Yang lain tidak ikut karena Peter dan Edwin belum mengetahui bahwa narkoba adalah objek transaksinya. Mereka baru menyusul saat Stanley berhasil dilumpuhkan.
Ketiga, dapatkan bukti kepemilikan Stanley atas narkoba yang akan ia jual kepada Gisela . Selain itu, bonus tambahan juga bila ia berhasil mengorek informasi tentang kekuatan super tipe Clairvoyance atau People Detector yang mungkin dimiliki pihaknya ataupun koneksi Stanley . Seluruh perkelahian atau kerusakan yang mungkin terjadi akan dilaporkan sebagai usaha membela diri.
Jarak gedung tempat mereka akan bertemu memakan waktu sepuluh menit jalan kaki dari tempat acara K3 berlangsung. Reza dan Ansel berjalan dan tiba di gedung tersebut pada waktu yang ditentukan.
"Udah siapin semua?" tanya Ansel sambil meregangkan otot tangannya.
"Yoi. Tas punggung gw juga udah gw isi dengan semua textbook dari semester 1 nih.."
"Oke."
Reza dan Ansel mengadu silang kedua lengan kanan mereka. Gelang tali merah sebagai lambang persahabatan grup mereka tampak terikat erat di lengan masing-masing.
Setelah itu, saat mereka berdua masuk gedung, terdengar suara gemuruh musik dari kejauhan. Tampaknya konser pembuka acara K3 sudah resmi bergulir. Suaran riang gembira di konser sangat bertolak belakang dengan situasi tegang yang sedang dihadapi Reza dan Ansel saat ini.
Satu per satu ruangan, tangga, dan lorong dilewati hingga mereka tiba di aula gedung yang luas tersebut. Saat masih digunakan, aula ini sering digunakan untuk upacara, ruang ujian, ataupun pembinaan mahasiswa baru seluruh mahasiswa fakultas Teknik Industri.
Begitu masuk aula, Stanley terlihat berdiri di kejauhan bersama kedua bawahan setianya, si bongsor dan si ceking. Nyaris tidak ada barang lain di aula selain beberapa jejer meja dan kursi di sekeliling maupun di atas panggung yang posisinya berada di belakang mereka.
"Hoo, lihat siapa yang datang?" ucap Stanley . Suaranya agak menggaung di aula yang luas ini.
"Wah bos, si Gisela sepertinya mengirim mereka berdua untuk jadi agennya?" tanya si ceking.
"Atau mereka berdua mau... mengantar nyawa mungkin? Hoho," ujar si bongsor.
Mereka bertiga berbicara sambil mengejek Gisela dan Reza selama beberapa saat, hingga Reza akhirnya buka mulut dan bersuara, masih dari tempatnya berdiri.
"Hei, bangs*t! Gw udah tahu kalau lu mau ngejual narkoba. Gak cuman Gisela , tapi ke mahasiswa lain juga."
Ketiga orang tersebut diam serentak dan melirik satu sama lain. Sejenak kemudian, Stanley tiba-tiba tertawa keras.
"HAHA! Terus kenapa!? Mereka semua orang dewasa. Mereka tahu barang apa yang mereka beli. Apa salah kalau kita ngejual sesuatu yang orang inginkan, HAH? It's a business, you know!!"
Reza terdiam sebentar, namun Ansel menjawab pernyataan tersebut sambil melangkah perlahan ke depan, "Benar, pada hakikatnya, itu adalah bisnis. Secara prinsip bisnis, menjual barang yang diinginkan oleh pembeli itu tidak salah."
Ansel berhenti berjalan. Posisinya tetap masih agak jauh dari Stanley .
"Tapi," Ansel mengepalkan tangannya dengan kuat, "Menjual barang kepada pembeli tanpa memberi informasi yang lengkap mengenai efek jangka panjangnya adalah kesalahan besar dalam berbisnis. Banyak dari mereka yang tidak sadar kerugiannya dalam jangka panjang untuk tubuh mereka."
"Iya," Reza berjalan menuju posisi Ansel berdiri, "Selain itu, lu juga memaksa mereka untuk terus melanjutkan transaksi dengan lu. Itu sudah masuk kategori pemerasan."
"Haha...," Stanley tertawa kecil dan melangkah maju dengan perlahan, "Ya, memang bisnis ini sedikit berbeda dari bisnis kebanyakan. Ini bisnis yang kompleks. Bukan hanya proses jual belinya saja. Alasan sesimpel motivasi menjual narkoba ini saja gak selalu hanya uang..."
"Bos...," ucap si bongsor melangkah maju, "Bos, udah jangan terlalu jauh ngomongnya nanti-"
"Hei Reza !" Stanley mendadak berteriak, "Lu sadar kalau datang ke sini cuma berdua sama teman lu, lu udah kalah?"