Kabut ungu menggantung di langit dimensi bayangan, membentuk siluet cahaya remang yang menyelimuti singgasana obsidian milik Zeyran Azyura. Suara langkah Calyra Madyara yang ditarik paksa oleh medan gravitasi sihir terdengar menggema, seolah setiap getarnya menampar keberanian yang tersisa.
Tubuhnya masih dibalut jubah tempur cahaya, tapi aura defensifnya perlahan runtuh saat tatapan Zeyran menembus jiwanya. Zeyran berdiri di ujung tangga kekuasaan, mengenakan mantel gelap yang membungkus tubuhnya yang penuh luka pertempuran dan keangkuhan.
Tak ada senyum di wajahnya, hanya sorot mata yang menyulut badai di dada Calyra. Sorotan yang menelanjangi jiwa, memelintir niat baik menjadi keinginan liar yang sulit dijelaskan.
"Jadi, kau yang dikirim cahaya untuk menaklukkan malam?" bisik Zeyran, dengan suaranya yang berat dan nyaris seperti desahan petir.
Calyra mendongak, menahan detak yang kacau. "Aku bukan untuk ditaklukkan," gumamnya, walau tubuhnya tak lagi sekuat ucapannya.
Zeyran melangkah turun satu per satu. Setiap langkahnya seolah memaksa ruang menyerah pada aroma panas yang ditinggalkannya. Calyra bisa merasakan suhu di dalam dirinya berubah. Seperti ada api purba yang bangkit dari dalam tulang belakangnya.
Dia tidak menyentuhnya. Tidak langsung. Tapi sihir tak terlihat itu mengelus kulit Calyra seperti bisikan. Lembut, lambat dan mematikan. Seolah angin bisa menggoda lebih dalam daripada tangan manusia.
"Apa kau merasakan itu?" tanya Zeyran, dengan suaranya yang nyaris tak terdengar tapi mengguncang relung yang paling dalam.
Calyra tidak menjawab. Ia menggigit bibirnya, mencoba memenjarakan denyut liar yang tumbuh dalam tubuhnya. Tapi Zeyran sudah tahu jawabannya dari getar napasnya. Dari leher yang memerah. Dari pupil mata yang membesar oleh pertempuran batin.
Dengan sihirnya, Zeyran mengikat tangan Calyra di udara. Tak kasar tapi tegas. Membuat tubuh perempuan itu menggantung ringan, seolah hanyut di antara batas mimpi dan dosa. Namun yang paling gila, Calyra membiarkan itu terjadi. Bahkan ingin lebih dari itu.
Calyra menggantung di udara, dikelilingi pusaran energi gelap yang berpendar ungu membara. Rambutnya tergerai seperti api yang menari melawan arah angin. Napasnya naik turun, memburu, terengah oleh sihir yang menjerat tubuh dan pikirannya.
Zeyran mengitari tubuh itu seperti serigala yang mencium aroma bulan. Pandangannya bukan sekadar mengagumi, tapi menguasai. Lelaki itu adalah malam itu sendiri. Pekat, liar, dan tak bisa ditebak kapan akan mencengkeram dengan kekuatan penuh.
"Aku bisa menghancurkan seluruh alam dengan satu gerakan," ucapnya, nyaris berbisik di belakang telinganya. "Tapi tubuhmu... terlalu sakral untuk dilukai. Terlalu liar untuk dilepaskan begitu saja."
Sebuah pusaran angin hangat muncul dari telapak tangannya. Ia menggeser energi itu di sepanjang tulang punggung Calyra. Tidak menyentuh, tapi membakar kulitnya dari jarak tak terlihat. Gadis itu menahan desahan. Tubuhnya mulai bergetar bukan karena takut, tapi karena ketagihan akan sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
"Jangan main-main denganku..." ucap Calyra serak, sambil mencoba menyelamatkan harga dirinya.
Zeyran malah tertawa rendah dan renyah mendengarnya. Suara itu seperti gesekan belati pada beludru.
"Aku tidak bermain. Aku sedang membangunkan sisi yang kau kubur terlalu dalam."
Ia merentangkan tangannya, dan sihir di tubuh Calyra meledak jadi semburat cahaya yang membuat kulitnya basah oleh keringat dan sihir yang meleleh. Ia seperti Dewi Perang yang diturunkan ke dalam pelukan iblis, dan keduanya tidak menolak peran itu.
Zeyran maju, hanya beberapa inci dari wajah Calyra. "Biarkan malam menjelajahi fajar," katanya pelan.