Lima belas tahun lalu…
KESEJUKAN akal adalah kusir atas nafsu yang berkabut. Tanah menjelma putih bersih. Kubuka lembar darah. Kubangunkan rangkaian tulang. Kusatukan semangat daging. Tubuhku menggelepar, di antara pinus bersalju. Menghirup wangi hutan dalam kebekuan minus duapuluh derajat celcius saat Lapland mengucap selamat ulang hari pada segala makhluk. Bersama kurcaci Rovaniemi dan rusa-rusa kami merayakan rahasia waktu yang tersisa.
Peternakan rusa kutub di Lapland, Finlandia, ramai dikunjungi turis bila musim dingin tiba. Sebagian orang mempercayai Lapland kampung halaman Santa Klaus. Ia diperkirakan tinggal di wilayah Dimmuborgir, sebuah tempat di Iceland Utara. Sekitar setengah juta wisatawan tiap tahun tertarik datang ke sana. Ada di wilayah tertutup es, para pelancong penasaran mengunjungi pria berjanggut putih lebat serta mengenakan mantel merah. Ini berkah tersendiri bagi perekonomian pariwisata negeri Jean Sibelius (1865-1957, komposer terbesar Nordik kebanggaan Finlandia).
Aku, ayah dan beberapa teman sejawatnya, menikmati paket wisata liburan sekaligus studi banding manajemen konservasi alam di kawasan Nordik (sebutan untuk negara Eropa Utara). Hadiah dari pemerintah bagi mereka yang dianggap berjasa menjaga kelestarian Hutan Kota. Dedikasi para pejuang lingkungan hijau itu memang tak perlu diragukan. Liburan dan studi banding, diharapkan menambah kreativitas mereka dalam upaya menjaga keseimbangan ekosistem. Antara manusia, tetumbuhan, hewan dan alam tempat tinggal di Indonesia nanti.
Awalnya aku tak mau ikut. Ayah juga tak memaksa. Namun kupikir ayah pasti merasa kesepian. Setelah kepergian ibu, ayah tentu membutuhkanku untuk melawan gelegak sepi di hatinya. Memang, kami sedang berduka waktu itu. Tak ada yang tahu absensi Tuhan sampai pada giliran ibu. Padahal nama ibuku berawalan huruf Y, yang mestinya masih lama dipanggil. Aku coba mengerti, tentu sistem absensi Tuhan berbeda dengan sistem absensi di sekolah. Catatan Tuhan tak mengenal permulaan abjad. Tua-muda, kaya-miskin, di jalan atau di rumah, waktunya game over ya, game over. Menuju keabadian.
“Jangan lupa bawa bolamu! Kita akan bermain di lapangan es.”
“Sambil berski?”
“Tentu, strikerku sayang. Dan, setelahnya kita akan menikmati Lapland a’la carte,” ujar ayah menggodaku dengan hidangan terdiri dari daging rusa kutub, ikan salmon, kentang lapp puikula dan buah berri. Aku pun tergiur…
Kegiatan yang pasti dilakukan wisatawan bila berkunjung ke Lapland adalah memancing, memberi makan rusa, dan naik kereta luncur. Ikan-ikan seperti burbot, whitefish dan beberapa jenis keluarga salmon lainnya, seringkali dipancing melalui lubang lapisan es yang membeku menutupi laut dan sungai.
Aku dan ayah tentu tak ketinggalan ikut mencoba. Kami menyewa dua gulung senar pancing yang telah terkait mata kail ukuran sedang, serta membeli umpan buatan: komposisi racikan udang rebus dan keju putih yang telah dihaluskan. Tak lupa kami menyewa jaket tebal berbahan gore-tex yang mampu menahan dingin ekstrem, juga wool glove; sarung tangan terbuat dari wool. Woow, penampilanku dan ayah sudah seperti pendaki Everest yang hendak menggapai puncak dunia. Semua perangkat penjaga suhu badan agar tetap hangat itu wajib dipakai! Jadi standar siapa saja yang hendak memancing di area danau yang membeku. Pengawas setempat tak mengizinkan bila pemancing sekadar berpakaian seperti biasa, hanya celana panjang, kaus dan jaket tipis. “Siapa yang menjamin jika tiba-tiba suhu tubuhmu merosot drastis, karena tak sadar hipotermia menyerang?” Begitu peringatan yang kami dengar.
Aku dan ayah menuju sebuah lubang berdiameter seperti ban mobil. Ada banyak lubang yang bisa dipilih untuk melepaskan senar pancing. Kami memilih yang terdekat dengan tanah bersalju. Aku tahu ini pilihan terbaik yang ditentukan ayah. Kaki kami, walau menjejak licin hamparan es yang mengeras, dengan mudah tetap bisa mencapai padat tanah bersalju bila tiba-tiba kaca bening raksasa itu retak dan menunjukkan indikasi bakal pecah. “Titik aman masih terjangkau,” kata ayah.
Saat menanti umpan diserang, seolah sedang bercermin layaknya seorang Narsisus, aku dapat melihat muka di tengah permukaan es yang mengilap. Seketika dadaku bergemuruh. Kilas wajah itu menunjukkan paras elok seorang ibu yang telah melahirkan anak perempuan jelita. Kata orang, mukaku mirip sekali dengan ibu; wanita berkulit putih dengan pandangan teduh dan sudut mata cenderung oriental, khas keturunan tanah parahyangan. Tak terasa air mata menetes, aku sesenggukkan. Ayah langsung memelukku.
“Kenapa, sayang…”
Aku tatap ayah, lalu merangkulnya kembali. Erat, sambil bercucuran air mata. “Aku merindukan ibu…”