Surabaya Dalam Utopia

Yessi Rahma
Chapter #3

Utopia 3 Ketika Makan Nasi Bisa Memendekkan Umur Manusia Di jaman Kami

Para pemikir yang biasanya disebut dengan peneliti sedang diberi tekanan oleh pemerintah. Begitupun juga ayahku, dia tidak pernah menjamah rumah. Pulang satu minggu sekali dan terkadang dia tidak pernah pulang. Ayah sering cerita jika hidup sebagai peneliti sama juga dengan mengganti Tuhanmu dengan pemerintah. Bagaimana bisa? Peneliti adalah orang pertama yang akan diminta tanggung jawabnya jika terjadi sebuah ketidakberesan yang terjadi dalam kehidupan. Peneliti adalah seniman kehidupan yang akan terus membuat kita melaju dan menentukan ke arah mana kehidupan masyarakat berlanjut.

Itu sebabnya aku benci dengan kehidupan sebagai peneliti. Ayah, ibu, ke dua kakakku adalah peneliti yang hebat di masanya. Aku tidak mau menjadi seperti mereka. Menikmati kehidupan di dalam laboratorium dan screen-komputer dengan sistem tergabung dan hanya bisa diakses oleh sesama peneliti- tanpa ada waktu untuk menyapa anakmu atau adikmu. Bukankah dengan begitu kamu sama saja mengganti Tuhanmu dengan pemerintah? Melakukan semua hal yang diinginkan pemerintah tanpa perlu memikirkan perasaan keluargamu. Nah aku tidak mau terperangkap dan membuat masalah dengan pemerintah. Bukan karena aku tidak mau mengamalkan ilmuku tapi karena aku… karena aku ingin menjadi manusia yang hidup di jaman dulu. Manusia dengan teknologi yang sederhana tapi bisa dikatakan sebagai manusia.

Aku masih tidur berdiri di kamarku, menikmati sebuah pijatan lembut yang enak. Ketika terdengar sebuah benturan di permukaan aku segera membuka mataku. Membuka kapsul tidur dan beranjak untuk memotong kuku serta membersihkan muka. Setelah memakai pakaian lengkap dengan syal untuk melindungi kulitku dari kanker aku segera keluar untuk melihat apa yang terjadi. Kaida sudah ada di depan, lengannya banyak mengalami luka begitupun juga wajah dan kakinya. Dia menatapku tetap dengan matanya yang hijau. Oh, sampai kapan dia akan bertingkah seperti padaku? Tidak bisakah dia sedikit ramah dan menganggapku sebagai nya, atau paling tidak bisakah dia menganggapku sebagai temannya?

Aku berbalik ke rumah, mengambil mantel. Aku berlari ke arah Kaida dan menangkupkan mantel itu ke tubuhnya. Dia malah membuang mantel itu kasar ketika aku sudah selesai membalut tubuhnya. Matanya tidak senang menatapku. Apa-apaan gadis ini? Aku mengambil mantel itu dan kutangkupkan lagi ketubuhnya. Dia kembali membuang mantelnya. Oh, dia melakukan itu beberapa kali setiap aku menangkupkan mantel itu. Beberapa kali. Oh, Allah bagaimana bisa ayah menemukan manusia aneh seperti itu????

“Lihatlah, kamu lihat matahari itu!.” Aku berteriak dengan kesal. Matanya sedikit meriyip ketika menentang cahaya matahari yang pucuknya bisa membakar kulit. “Mataharimu di Kalimantan berbeda dengan matahari di Surabaya. Dan tidak semua matahari itu bersahabat dengan manusia. Kamu bisa dengan cepat mati jika terpaparnya.” Kataku menjelaskan. Kembali aku mengambil mantel itu kembali dan kembali pula aku memasangkan mantel itu ketubuhnya. Kali ini dia tidak membuangnya, tapi dia mencabik-cabiknya menjadi bagian yang lebih kecil.

Baru kali ini aku bertemu dengan manusia yang seperti ini. Hah? Merepotkan sekali mempunyai adik yang seaneh itu. Dan lebih parah lagi dia melakukan hal yang sama dengan syalku. Gila nih manusia. Bagaimana bisa dia bertindah sekasar itu. Nafasku turun naik dengan hebat menahan marah. Aku melihat matanya yang hijau dan tanpa rasa bersalah itu.

Ditahannya lenganku ketika aku beranjak pergi untuk masuk ke rumah. Aku tatap lagi wajah yang penuh luka dan tidak pernah bersuara itu. Ada harapan di sana. Aku tahu sekarang di mata Kaida ada sebuah harapan. Ada sebuah harapan yang begitu indah di sana. Aku berteriak girang dalam batin. “Kamu mau aku ajari naik mobil?” Tanyaku saat dia menatap kakinya yang masih terpasang dengan ikatan longgar mobil milikku. Dia mengangguk.

“Kenapa? Bukankah enak jika kamu kekampus kamu hanya perlu duduk tenang di punggungku?” Tanyaku. Dia terdiam. “Baiklah.” Kataku akhirnya. Aku mengambil mobil milik ayah yang tergeletak di basement. Dia aku dudukkan di salah satu permukaan atas rumah kami.

“Hal pertama yang harus kamu lakukan jika ingin mengendarai mobil adalah ikat secara kuat dan pastikan mobil itu tidak akan lepas jika kamu menaikinya. Begini!.” Aku mencontohkan dengan duduk di sampingnya. Serius, dia begitu serius melihatku lalu dengan penuh semangat dia mencobanya. Beberapa kali dia kebingungan mengaitkan tali mobil itu kekakinya, beberapa kali dia salah memutar dan ikatannya sering tidak berhasil. Aku menertawainya dengan puas. Baru kali ini aku menjadi guru, jadi wajar saja ya.

“Nah, setelah berhasil dengan langkah itu. Berdirilah tegak dan pencet tombol ini untuk mengaktifkan anti grafitasi agar bisa mengambang. Jangan lakukan dulu.” Aku berteriak ketika dia hendak memencet tombol yang aku maksud. “Pastikan dulu kamu juga tahu bagaimana cara menjalankannya. Nah, jika kamu ingin mobilmu berjalan ke depan lakukan seperti ini. Jika membelok seperti ini. Lalu untuk mengerem cukup tekan ke belakang. Lalu akhiri dengan memencet tombol ini.” Aku menunjukkan dengan jelas bagaimana cara menjalankan mobil lengkap dengan gerakan. Jadi ya aku memutar-mutar disekitarnya. “Lakukan!.”

Dia memencet tombol itu dan sontak tubuhnya terpelanting ke udara. Dia terbang melompat dan aku rasa dia terlalu dalam memencet tombol grafitasi. Lalu tubuhnya turun beberapa menit kemudian. Aku tertawa menyambut kedatangannya kembali. Matanya menyipit, tidak senang. “Makanya, jika ingin melakukan hal baru jangan terlalu grusa-grusu dan terlalu semangat.” Ujarku.

“Begini, tekan dengan lembut seperti ini.” Aku mengajarkannya lagi. Dia kembali menekannya. Dan sontak kakinya segera berubah posisi keatas dan kepalanya di bawah. Dia menjungkir. Rambutnya menjulur begitu saja ke tanah. Aku kembali menahan tawa. “Kau ingin belajar naik mobil atau membuat sirkus.” Ujarku kembali ketika mengembalikan posisinya ke semula.

Dia tersenyum, deretan giginya yang terlihat begitu indah ditambah biasan mata hijaunya yang berpancar menerangi wajahnya. Mendung dengan begitu anggun merenungi rambutnya yang hitam dan lebat. Aku tersenyum, rasanya ingin sekali aku memeluk bahu kecil itu tapi segera kuurungkan ketika aku melihat senyumannya yang masih saja menatapku.

Bahunya yang kecil kusejajarkan dengan bahuku. Aku harus melakukan itu agar dia tidak lagi membahayakan dirinya. “Tekan tombolnya, dengan lembut dan anggun.” Dia menutup matanya. Takut. “Nah, seperti ini. Kamu bisa merasakan jika kakimu sudah tidak menapaki tanah kan.” Kataku, dia membuka matanya. Dengan heran ditatapnya aku dan kakinya bergantian seolah ingin berkata aku bisa, aku bisa melakukannya, lihatlah. “Lanjutkan seperti ini.” Aku melepas bahunya. Sedikit menjauh dan menggerakkan mobilku maju. Dia melakukan hal yang sama. Tapi mungkin karena kakinya terlalu lemah jadi dia kembali kehilangan keseimbangan.

Hah? Aneh! Bagaimana bisa seorang terjatuh dari mobil yang sudah tersistem dengan keseimbangan. Bahkan anak yang baru bisa jalanpun akan bisa naik mobil ini dengan sempurna tanpa jatuh. Bagaimana bisa? Pikiran itu sangat menggangguku akan tetapi aku segera membantunya untuk berdiri lagi.

“Jangan memaksakan dirimu. Pelan-pelan saja.” Kataku, dia menatapku dengan mata hijaunya yang indah. Oh, bagaimana bisa dia terjatuh? “Lakukan, seperti ini. Pelan-pelan saja jangan terburu-buru.” Kataku lagi.

Dia naik kembali, mengawasi jalan depan. Hah? Dengan ragu-ragu diraihnya tanganku sebagai pegangan. “Yap, pelan-pelan seperti ini.” Aku mengatakan ketika dia mulai melaju pelan. Tanpa ekspresi dia langsung melaju meskipun kecepatanya sama dengan kecepatan orang berjalan. Aku memperhatikan dia dari belakang. Dia cepat belajar.

Kaida terlihat sangat kelelahan. Mungkin kegiatan belajar mobil tadi. Sorenya setelah membersihkan diri dan kembali di depan teve melihat kekacauan di dunia ini matanya yang hijau itu tertutup secara tidak sengaja. Aku mengambil mantel untuk menyelimutinya. Lalu mengambil beberapa tugas penelitian yang sama sekali belum aku sentuh sejak masa liburan berawal. Dengan beberapa paprika, tomat serta jeruk aku berniat melanjutkan tugas penelitian dan segera menyelesaikan tugas ini dalam sehari.

Aku duduk di bawahnya, menggelar objek yang akan aku teliti. Aku tidak mau membangunkannya karena itu aku hanya membuka dan menutup serta melakukan semua kegiatan dengan suara paling rendah. Aku mengiris tomat, memakannya setengah lalu kembali kuletakkan di atas meja. Di saat sepotong tomat hijau itu hampir saja masuk ke dalam mulutku untuk yang ke dua kalinya, Kaida menyautnya dan segera memakannya secara tiba-tiba.

Hah? Bagaimana bisa ada manusia sekasar ini, aku kembali terhenyak ketika dia tanpa rasa bersalah mengunyah tomat itu dan menimbulkan riak-riak yang keras. Untuk kesekian kalinya aku menelan ludah dan mengelus dada menghadapi Kaida. Dia membalik mantel itu kasar, menatapku dengan aneh. Apa? Apa yang dipikirkan oleh manusia yang satu ini, aku bertanya dalam hati. Dia menarik tubuhnya agar duduk sejajar denganku lalu diserahkannya krim yang biasa aku oleskan padanya ketika malam menjelang.

“Kau minta diolesin ini?” Aku bertanya.

Aneh. Apalagi kata yang bisa dikatakan untuk menggambarkan semua tingkah Kaida selama ini.

Tidak selesai di sana saja keanehan Kaida. Oh, jika diteruskan cerita ini mungkin hanya tentang Kaida saja. Setelah liburan semester selesai kami kembali masuk kuliah. Karena ayah hampir tidak pernah pulang jadi aku selalu berdua berangkat dari Madura. Kami biasanya berangkat pagi sekali ketika matahari belum sempat muncul lalu kami duduk di tengah jembatan Suramadu untuk menikmati sinarnya. Untuk tahu bagaimana hidup sebagai mana manusia jaman dulu hidup. Aku sering bergumam sendirian, bergumam tentang mimpiku di saat melihat sinar matahari. Entah kenapa jika aku merasakan sinar matahari yang lembut ketika fadjar menyingsing aku merasa Allah bisa mendengarkan aku dengan jelas. “Kamu tahu kenapa manusia dulu itu lebih bahagia dengan teknologi yang sangat sederhana dibandingkan dengan manusia sekarang yang mempunyai teknologi yang super canggih? Karena mereka punya dua hal yang mendasar-yang membentuk mereka menjadi manusia-, kamu tahu apa hal itu? Cinta dan harapan. Dua hal yang tidak pernah dimiliki oleh manusia di jaman seperti ini.”

Kami berangkat bersama dan dia mulai terbiasa dengan mobil baru yang dibelikan ayah dua minggu lalu. Kecepatannya sekarang bertambah, dia juga hampir tidak pernah memegang lenganku untuk pegangan. Dan mungkin ini merupakan sebuah awal yang baik untuk mengakhiri keanehan yang dimiliki oleh Kaida.

Dari teman-temannya aku tahu kalau Kaida itu sangat tertutup. Dia sama sekali tidak bicara, dia hanya menulis apa yang akan dia ungkapkan pada bangku dan pada apapun yang dia temui. Dia tidak pandai bergaul dan terkesan kaku. Tapi itu wajar untuk seorang yang keluarganya baru saja terbunuh-karena dulu aku pernah mengalami fase yang seperti itu.

Lihat selengkapnya