Surat Cinta

Bluerianzy
Chapter #2

2. Bertemu Dengannya

Beberapa kali saya melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan dengan napas yang terengah-engah, langkah terburu-buru juga keringat yang bercucuran membasahi punggung dan mengenai kemeja putih yang dikenakan. Saya tidak memiliki waktu untuk berhenti sejenak selain di persimpangan jalan sekadar menyeberangi jalan raya yang dikuasai oleh kendaraan.

Hampir dua menit saya menunggu jalan raya sepi, saya benar-benar tidak sabaran karena saya sudah terlambat datang ke tempat kerja. Di usia yang baru menginjak dua puluh tahun, saya adalah karyawan di salah satu perusahaan swasta dan sekarang saya sedang terburu-buru karena jam masuk kerja sudah lewat dari lima belas menit yang lalu. Saya menduga pasti akan ada tatapan tajam dari atasan saat tiba di tempat kerja.

Masih di persimpangan jalan sambil menunggu jalanan sepi, di seberang sana saya mendapati adanya dua wanita yang memiliki usia yang berbeda sedang bergandengan tangan. Satu wanita paruh baya yang sepertinya memiliki penglihatan kurang bagus dan satu lagi wanita muda berwajah manis dengan senyuman menawan juga memikat tanpa sadar saya terpesona oleh senyumnya itu dan perlahan senyumnya menular.

Saya yang sempat terhanyut oleh senyuman perempuan asing itu segera menggelengkan kepala, menepuk pipi agar tersadar dari lamunan.

"Sadar, Dim," gumam saya untuk diri sendiri.

Ketika jalanan sudah jarang di lalui oleh kendaraan segera saya melangkahkan kaki begitu juga dengan mereka.






"Selamat pagi, Pak." Saya meringis pelan usai menyapa ketua tim.

Pak Bambang yang kebetulan berdiri membelakangi saya segera menolehkan kepala dan sesuai dengan dugaan yang terlintas, pria berusia empat puluh tahunan itu memperlihatkan tatapan tajam seakan bisa membelah tembok melalui tatapannya.

Beliau melihat sebentar pada jam yang ada di dinding. "Bukankah seharusnya kamu mengatakan selamat siang?" sindirnya sambil melipatkan tangan di depan dada.

Sindiran yang tepat sasaran membuat saya menundukkan kepala. "Maaf, Pak."

Terdengar suara helaan napas yang sudah pasti Pak Bambang yang melakukannya. "Kenapa bisa datang terlambat?"

"Karena saya terlambat bangun pagi-pagi, Pak."

"Kamu terlambat hampir tiga puluh menit," ucapnya memperjelas meski tidak diperjelas pun saya sudah tahu.

Masih dengan kepala yang menunduk saya siap menerima segala ocehan maupun nasihat yang keluar dari mulutnya. "Kamu saya maafkan karena ini pertama kalinya kamu terlambat datang ke kantor, tapi kalau sampai kamu melakukannya lagi, kamu harus siap terima konsekuensinya. Sekarang pergi ke ruangan kamu."

Ucapannya yang cukup panjang tidak akan pernah saya lupakan, kepala yang sempat tertunduk menjadi mendongak menatapnya dengan senyum lebar disambut oleh kelegaan di hati. "Terima kasih, Pak."

Sebelum pergi pria berbadan gempal itu menepuk pundak saya sebentar, karena izinnya saya segera melangkahkan kaki menuju ruangan tempat saya bekerja yang kebetulan ruangan itu tidak terlalu jauh dari tempat saya berdiri. Setibanya di ruangan tas selempang yang saya kenakan ditaruh di atas meja kemudian menarik kursi untuk saya duduki dan sebentar saya mengembuskan napas sebelum mulai bekerja.

"Dimas." Kepala saya refleks menoleh pada Ferdi yang memanggil.

"Kok baru datang?" tanyanya yang sudah berdiri di samping saya.

Lihat selengkapnya