Setiap pulang bekerja saya selalu melewati toko kelontong kemarin karena toko itu tidak terlalu jauh dari rumah, saya sama sekali tidak menduga jika perempuan kemarin berdiri di depan toko dan ketika mata kami saling bertemu dia tersenyum pada saya kemudian melangkahkan kaki kurusnya untuk mendekat.
Omong-omong, saya sudah ingat siapa perempuan ini. Dia adalah perempuan yang saya lihat saat ingin menyeberang jalan, perempuan yang membuat saya terpesona selama beberapa detik karena senyumannya.
"Saya pikir, Mas. Tidak akan datang." Begitu katanya masih mempertahankan senyumnya.
"Kamu sudah lama menunggu saya?" Saya bertanya khawatir jika perempuan itu menunggu terlalu lama.
Dia menggeleng singkat. "Tidak kok, Mas. Baru lima menit saya di sini."
"Oh." Ada kelegaan di dalam hati karena ternyata dia tidak menunggu terlalu lama.
"Ini uang yang kemarin, Mas." Di tangannya terdapat uang lembaran sepuluh rupiah dan awalnya saya tidak ingin menerima hanya saja niatnya yang ingin mengembalikan membuat tangan kanan saya bergerak untuk mengambilnya.
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, kalau tidak ada Mas, saya tidak bisa membeli camilan kesukaan Nenek," lanjutnya.
"Sama-sama," ucap saya dan di akhiri oleh senyuman.
"Omong-omong, Mas. Baru pulang kerja ya?"
Pertanyaan yang terkesan basa-basi itu membuat saya menganggukkan kepala. "Iya, saya kerja di kantor percetakan."
"Oh."
Di saat perempuan itu masih berdiri di hadapan saya, sama seperti kemarin pandangan mata ini malah tertuju pada tiga kantung plastik berukuran sedang yang sepertinya sengaja ditaruh bersandar pada tembok toko kelontong.
"Itu semua punya kamu?" Di akhir kata saya menunjuk pada tiga kantung plastik tersebut.
Dia menoleh sebentar. "Iya, itu semua punya saya."
"Mau saya bawakan?" tawar saya sekadar basa-basi.
"Tidak usah, Mas. Saya bisa bawa sendiri kok."
Sepertinya perempuan ini memang tidak suka merepotkan orang lain, tapi sungguh sama sekali saya tidak merasa keberatan.
"Tidak apa-apa, Mbak. Tidak perlu sungkan."
Tanpa menunggu persetujuannya saya melangkah singkat mengangkat tiga kantung plastik itu yang menurut saya cukup berat jika dibawa oleh seorang perempuan bertubuh kurus mungil seperti dia.
"Biar saya saja yang bawa ini." Dia mengambil satu kantung plastik yang isinya lebih ringan.
Kemudian kami melangkah beriringan menuju rumahnya yang entah berada di mana dan selama dalam perjalanan tidak ada percakapan yang tercipta lalu yang terdengar hanya suara jangkrik yang hampir di setiap langkah kami terdengar. Suasana saat ini memang tergolong canggung karena kami baru bertemu dua kali ditambah saya maupun dia tidak tahu nama masing-masing.
Mungkin sekitar tujuh menit berjalan kami sudah sampai ke tempat tujuan yaitu sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman yang cukup luas lalu di teras rumah itu saya melihat keberadaan seorang wanita tua duduk di kursi melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
"Mbak?"
"Kenapa, Mas?"