Saya baru saja menutup pintu rumah lalu kedua kaki ini berjalan ke kursi kemudian mendudukinya karena saya butuh istirahat sebentar sebelum membersihkan diri juga membersihkan rumah. Sebenarnya di rumah sederhana ini saya tinggal bersama Ibu, hanya saja Ibu sedang sakit jadi semua pekerjaan rumah saya yang kerjakan.
Sambil menatap langit-langit di ruang tamu serta lampu yang menyala cukup terang, entah kenapa malah membuat saya teringat sesuatu yaitu mengenai perempuan bernama Kinanti yang baru saya kenal. Kata Nenek Ijah, Kinanti lebih suka tinggal bersama Nenek dibanding dengan keluarganya, entah apa alasannya tapi jika saya boleh menerka-nerka pasti penyebabnya karena Kinanti kesepian. Kata Nenek Ijah kedua orang tua Kinanti sibuk bekerja lalu Kakak perempuan satu-satunya sudah menikah dan tinggal bersama suami serta anaknya yang masih kecil.
Selain berbicara soal Kinanti, Nenek Ijah juga berbicara tentang dirinya sendiri. Beliau tidak punya suami sengaja tidak menikah karena sewaktu muda beliau pernah disakiti oleh laki-laki yang dicintai dan rasa sakit hatinya masih terasa sampai sekarang hingga menyebabkan trauma untuk mencintai laki-laki lain.
Berbicara soal cinta, Ibu memilih tidak menikah lagi setelah Bapak meninggal saat saya berusia 13 tahun. Ibu berkata Bapak itu adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab lalu mereka berjanji untuk tetap bersama tapi sayangnya Bapak harus pergi meninggalkan kami dan cintanya Ibu masih ada untuk Bapak, selamanya akan begitu.
Sementara itu, saya yang sudah hidup selama 20 tahun belum pernah merasakan gejolak menggelitik di perut maupun jantung yang berdebar-debar saat melihat lawan jenis. Tapi di lain sisi saya mengakui jika senyumnya Kinanti begitu memikat akan tetapi bukan berarti saya langsung mencintainya, kan? Lagi pula butuh waktu untuk mencintai seseorang, tidak dalam hitungan menit maupun detik.
"Kamu sudah pulang?"
Keberadaan Ibu yang tiba-tiba muncul membuat saya menatap padanya. Saat Ibu berjalan menghampiri saya segera berdiri dan mencium tangannya.
"Sudah makan?" tanya Ibu lagi.
"Belum, Bu." Memang saat di rumah Nenek Ijah saya memakan beberapa potong singkong rebus dan biskuit, tapi tidak membuat perut saya kenyang.
"Ibu buatkan nasi goreng, ya."
Segera saya menggelengkan kepala. "Ibu istirahat saja, biar Dimas sendiri yang buat, lagi pula Dimas belum lapar kok."
Ibu menghela napas. "Tapi kondisi Ibu sudah jauh lebih baik, Nak."
Untuk kedua kalinya kepala ini menggeleng. "Tidak, Bu. Ibu istirahat saja ya, supaya kondisi Ibu jauh lebih baik."
Saya tahu beliau ingin melakukan sesuatu, tapi saya tidak bisa membiarkan beliau kelelahan terlebih kondisi fisiknya masih belum stabil karena penyakitnya sedang kambuh.
Beliau menatap saya sebentar. "Ya sudah, kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan kasih tahu Ibu, ya."
Saya merespons dengan anggukan singkat setelah itu Ibu membalikkan badan, melangkah maju menuju kamarnya. Sebelum membuat nasi goreng dan beres-beres lebih baik saya membersihkan diri terlebih dahulu.