Pukul empat sore pekerjaan saya di kantor percetakan sudah selesai, saya sudah membereskan meja kerja dan itu tandanya saya sudah diperbolehkan untuk pulang dan satu persatu rekan kerja saling berpamitan.
"Dimas."
Saya menoleh menatap Ferdi yang tadinya sudah keluar malah masuk lagi ke dalam ruangan.
"Kenapa, Di?" tanya saya padanya.
"Ada yang menunggu kamu di luar."
Sontak kening saya mengerut hingga menimbulkan pertanyaan di kepala. "Siapa?"
Kemudian Ferdi mengangkat bahunya sebentar. "Saya tidak tahu namanya siapa, tapi dia perempuan. Apa mungkin itu pacar kamu ya?" Di akhir kata dia menatap curiga.
Karena ucapannya itu membuat saya mendengus sebal. "Saya tidak punya pacar."
"Lalu dia siapa? Masa iya hanya teman?" goda Ferdi sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
"Berisik kamu!"
Usai menyampaikan jika ada seseorang yang menunggu saya, Ferdi segera melangkah pergi meninggalkan saya yang masih diam di tempat seraya menerka-nerka di kepala. Apa mungkin Ibu yang menunggu? Jika benar, pasti Ferdi mengetahuinya karena beberapa kali dia pernah mampir ke rumah dan bertemu Ibu.
Karena penasaran saya bergegas pergi memakai tas selempang dan melangkah terburu-buru sampai ke depan gedung kantor, tapi ketika saya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat ini seperti tidak ada yang sedang menunggu saya dan seketika saya mengembuskan napas karena menduga jika Ferdi pasti berbohong. Awas saja besok, saya tidak akan segan-segan menyentil dahinya dengan kencang.
"Mas Dimas!"
Saya sempat terdiam selama beberapa saat karena indra penglihatan ini mendapati keberadaan Kinanti yang sedang tersenyum lebar sembari melambaikan tangan. Sejenak saya berpikir, di mana Kinanti menunggu saya? Padahal ketika saya melihat sekeliling tidak tampak wujud Kinanti yang terlihat.
Omong-omong, tanpa bertanya padanya saya sudah mengetahui dari mana dia tahu tempat saya bekerja karena saya yang menceritakannya sendiri pada Kinanti juga Nenek Ijah. Tapi yang membuat saya terkejut adalah Kinanti datang sendirian ke tempat ini? Padahal jarak antara kantor percetakan dengan rumah Nenek Ijah bisa dikatakan cukup jauh.
"Kamu sedang apa di sini?" tanya saya ketika berada di hadapannya.
"Menunggu Mas Dimas," jawabnya.
"Sudah lama?"
Dia nampak berpikir sebentar. "Setengah jam mungkin?"
Lagi-lagi saya terkejut karena menurut saya setengah adalah waktu yang cukup lama.
"Kenapa tidak masuk saja ke kantor?"
Kinanti mengusap lehernya pelan. "Saya tidak enak dengan orang-orang di dalam, lagi pula Mas Dimas juga masih sibuk bekerja."