Surat Cinta

Bluerianzy
Chapter #5

5. Ubi Manis

Pukul empat sore pekerjaan saya di kantor percetakan sudah selesai, saya sudah membereskan meja kerja dan itu tandanya saya sudah diperbolehkan untuk pulang dan satu persatu rekan kerja saling berpamitan.

"Dimas."

Saya menoleh menatap Ferdi yang tadinya sudah keluar malah masuk lagi.

"Kenapa, Di?" tanya saya padanya.

"Ada yang tungguin kamu di luar."

Sontak kening saya mengerut hingga menimbulkan pertanyaan di kepala. "Siapa?"

Kemudian Ferdi mengangkat bahunya sebentar. "Saya tidak tahu namanya siapa, tapi dia perempuan. Apa mungkin itu pacar kamu ya?" Di akhir kata dia menatap curiga.

Karena ucapannya itu membuat saya mendengkus sebal. "Saya tidak punya pacar."

"Lalu dia siapa? Masa iya cuma teman," goda sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

"Berisik kamu."

Usai menyampaikan jika ada seseorang yang menunggu saya, Ferdi segera melangkah pergi meninggalkan saya yang masih diam di tempat sambil menebak-nebak. Apa mungkin Ibu yang menunggu? Jika benar, pasti Ferdi mengetahuinya karena beberapa kali dia mampir ke rumah dan bertemu Ibu.

Karena penasaran saya bergegas pergi dan melangkah terburu-buru sampai ke depan gedung kantor, tapi saat saya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat ini, seperti tidak ada yang sedang menunggu saya. Dan seketika saya menghela napas karena menduga jika Ferdi pasti berbohong. Awas saja besok, saya tidak akan segan-segan menyentil dahinya dengan kencang.

"Mas Dimas!"

Saya sempat terdiam selama beberapa saat karena indra penglihatan ini mendapati keberadaan Kinanti yang sedang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sejenak saya berpikir, di mana Kinanti menunggu saya? Padahal ketika saya melihat sekeliling tidak ada wujud Kinanti yang terlihat.

Omong-omong, tanpa bertanya padanya saya sudah mengetahui dari mana dia tahu tempat saya bekerja karena saya yang menceritakannya sendiri pada Kinanti juga Nenek Ijah. Tapi yang membuat saya terkejut adalah Kinanti datang sendirian ke tempat ini? Padahal jarak antara kantor percetakan dengan rumah Nenek Ijah cukup jauh.

"Kamu sedang apa di sini?" tanya saya ketika berdiri di hadapannya.

"Nunggu Mas Dimas," jawabnya.

"Sudah lama?"

Dia nampak berpikir sebentar. "Setengah jam mungkin?"

Lagi-lagi saya terkejut karena menurut saya setengah adalah waktu yang cukup lama.

"Kenapa tidak masuk saja ke kantor?"

Lihat selengkapnya