Saat membuka pintu rumah saya mendudukkan diri di kursi ruang tamu dan menaruh kantung plastik yang ternyata berisi ubi mentah di atas meja. Sejenak saya mengembuskan napas cukup panjang karena rasanya begitu melelahkan. Hampir seharian di kantor kemudian membantu Kinanti membenarkan genting rumah Nenek yang bocor. Niatnya saya ingin menyandarkan tubuh ke kepala kursi sambil memejamkan mata sebentar, tapi Ibu yang keluar dari kamar segera menghampiri saya.
"Kamu habis dari mana, Nak?" tanya Ibu yang menyadari jika anak semata wayangnya pulang terlambat.
"Dari rumah teman, Bu. Tadi dia meminta bantuan ke Dimas," jawab saya tanpa ada kebohongan.
Ibu mengangguk singkat dan sorot matanya terarah pada kantung plastik hitam yang ada di atas meja. "Apa itu?"
"Ubi."
"Dari teman kamu?"
Saya menjawab dengan anggukan singkat.
"Oh iya, tadi Ranti datang ke rumah, dia mencari kamu."
Mendengar nama perempuan itu disebut membuat saya bernapas dengan lega karena untungnya Ranti mencari di saat saya tidak ada di rumah.
"Kalau kamu tidak sibuk, kamu ke rumahnya ya tanya sama Ranti ada perlu apa."
"Tidak usahlah, Bu." Sama sekali saya tidak berminat untuk bertemu dengannya karena jujur keberadaan perempuan itu membuat saya terganggu, baik itu dari sikapnya maupun perkataannya.
"Tidak boleh begitu, Nak. Siapa tahu saja Ranti ada urusan atau pembicaraan yang penting sama kamu?" Ucapan Ibu membuat saya menghela napas, padahal rasa lelah yang saya rasakan belum hilang tapi malah semakin bertambah karena Ibu menyuruh saya untuk menemui Ranti.
"Kalau ingat, Dimas ke rumahnya," ucap saya asal dan beranjak dari duduk menuju kamar dan menutup pintu dengan rapat.