Saya merenggangkan kedua tangan akibat badan ini terasa pegal-pegal karena duduk seharian membuat tubuh saya menjadi tidak nyaman dan bekerja itu sungguh melelahkan, tapi demi Ibu aku harus mengumpulkan uang yang banyak agar kehidupan kami berubah, tidak lagi kesusahan untuk sesuap makanan. Sebelum saya bekerja di sini, Ibu harus banting tulang membiayai kehidupan kami dan menjadi tulang punggung keluarga tidaklah mudah karena banyak hal yang harus Ibu hadapi terlebih saat Bapak sudah tiada.
Ibu terlalu fokus mengurus saya sampai beliau lupa tentang kebahagiaanya dan sekarang waktunya saya membalas semua kebaikan Ibu, saya berjanji akan mengurus Ibu dengan sebaik mungkin hingga membuatnya bahagia.
Usia saya memang baru menginjak dua puluh, tapi terkadang Ibu selalu bertanya kapan saya akan menikah dan dengan mudahnya saya berkata kalau diri ini belum tertarik untuk menikah karena tujuan saya sekarang adalah bekerja dengan giat untuk menghasilkan banyak uang, sementara Ibu hanya tersenyum saat mendengar alasan saya dan terakhir Ibu mengatakan kalau semisal saya sudah menemukan perempuan yang menarik perhatian segera kenalkan karena Ibu begitu menantikan hal tersebut.
"Dim?"
Suara Ferdi yang terdengar membuat saya menoleh padanya. "Ya, kenapa?"
Ferdi berdiri di samping saya kemudian dia bersandar pada meja sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Kamu lagi tidak dekat sama siapa-siapa, kan?"
Pertanyaan itu membuat kening saya refleks mengkerut, sempat saya kebingungan dengan maksud ucapannya sampai akhirnya saya paham. "Maksud kamu perempuan?"
Tanpa adanya keraguan Ferdi menganggukkan kepalanya. "Iya, soalnya ada perempuan yang mau berkenalan sama kamu. Kali ini saya yakin perempuan itu tidak akan bikin kamu kecewa. Tolong diterima ya, Dim. Memangnya kamu tidak bosan melajang?"
Saya tahu Ferdi memiliki niat yang baik untuk membantu saya mencari pasangan, tapi saya masih belum bisa menerimanya karena memang diri ini masih belum tertarik menjalin hubungan maka dari itu saya tersenyum padanya.
"Maaf, Di. Tolong katakan pada perempuan itu saya tidak bisa karena saya ingin fokus bekerja."
Respons Ferdi tentu saja mencebikkan bibirnya. "Mau sampai kapan kamu begini terus, Dim? Memangnya kamu tidak mau menikah?"
Menikah ya? Saya mau, bahkan saya ingin mempunyai dua anak, istri yang mencintai saya dengan sepenuh hati dan kami hidup bersama selamanya.
"Saya memang mau menikah, tapi tidak untuk sekarang."
Ferdi mengangguk singkat. "Iya, saya tahu. Tapi kan kamu bisa berkenalan dulu dan kalau tidak cocok tidak usah diteruskan."
"Saya tetap tidak mau, Di."
Pernyataan saya yang terkesan keras kepala ini membuatnya kembali mencebikkan bibirnya. "Terserah kamu saja lah, jangan salahkan saya kalau kamu terlambat menikah."
Usai berkata lelaki itu pergi dengan membawa kekesalan yang jelas berasal dari sikap saya. Ferdi yang kesal tidak membuat saya memikirkan tentangnya karena pasti rasa kesalnya pada saya akan menghilang. Pekerjaan yang belum selesai membuat saya kembali fokus pada tugas yang harus diselesaikan.
"Pak Dimas?"
Suara seseorang yang memanggil nama saya membuat kepala ini refleks menoleh. "Ya? Ada apa Dara?"
Namanya Dara, rekan kerja saya dan bisa dikatakan perempuan itu baru bekerja di sini dua bulan yang lalu.
"Ada yang cari Pak Dimas diluar."
Perkataannya membuat diri ini berpikir sejenak, kira-kira siapa seseorang yang mencari saya diluar? Apakah saya mengenalinya atau tidak sama sekali?
"Siapa?"
"Kalau tidak salah namanya..."