Jika ditanya bagaimana perasaan saya saat ini, saya akan menjawab seperti awan putih yang ada di langit yang cerah meski tubuh saya sempat merasa lelah tapi berkat keberadaan Kinanti saya menjadi lebih baik bahkan sanggup berjalan berkilo-kilo meter lamanya jika di samping saya ada Kinanti. Menurut saya Kinanti itu menyenangkan. Dari sikapnya, caranya berbicara, caranya tertawa, terakhir caranya tersenyum dan hal terakhir itu adalah sesuatu hal yang saya sukai setelah pelukan erat dari Ibu.
Mungkin karena kami terlalu menikmati obrolan serta candaan tempat tujuan sudah berada di depan mata. Saya sudah mengantar Kinanti sampai di depan rumah nenek Ijah dan itu tandanya tidak ada lagi obrolan yang akan kami bicarakan sepanjang perjalanan.
"Mau mampir dulu, Mas?" tawar Kinanti sebelum saya mengucapkan kata pamit.
Sebenarnya saya memiliki keinginan untuk menganggukkan kepala, tapi melihat langit yang tiba-tiba mendung membuat saya hanya mampu tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. "Tidak usah Kinanti, saya langsung pulang saja mau hujan kasihan Ibu sendirian di rumah."
Benar kalau hujan petir dan Ibu sendirian di rumah, saya merasa khawatir dan kalau Bapak masih ada pasti saya tidak perlu merasa khawatir begini karena Bapak yang akan menemani Ibu memeluknya erat sampai hujan reda. Saya tidak tahu kenapa Ibu bisa takut saat mendengar suara petir yang bergemuruh, tapi yang jelas Bapak pernah bercerita kalau Ibu sampai menangis.
"Maaf ya, Mas. Karena saya Mas Dimas sampai pulang terlambat ke rumah."
Dari raut wajahnya Kinanti terlihat merasa bersalah, tapi jujur saja saya sama sekali tidak merasa keberatan malah kalau boleh mengungkapkan diri ini senang bisa membicarakan banyak hal dengannya.
"Tidak apa-apa, Kinanti. Kalau begitu saya pamit dulu ya."
Belum sempat kedua kaki ini melangkah, Kinanti menarik sedikit kemeja saya dann hal itu membuat kedua mata ini menatapnya lekat.
"Tunggu sebentar, Mas. Saya mau masuk ke rumah dulu sebentar."
Usai berkata Kinanti bergegas pergi memasuki rumah nenek Ijah yang pintunya tidak dikunci, saya menunggu di depan rumah dan tidak terlalu lama menunggu Kinanti sudah kembali dengan langkah yang terkesan terburu-buru membawa kantung plastik putih agak tembus pandang juga payung merah yang ada di kedua genggaman tangannya.
"Ini untuk, Mas. Tolong diterima ya." Kinanti memberikan kantung plastik dan payung untuk saya.
Payung dan ubi, kedua hal itu adalah hal yang Kinanti berikan dan betapa perhatiannya dia, saya diberi ubi untuk kedua kalinya dan payung akan saya gunakan nanti jika hujan turun karena memang saya lupa membawa payung. Sepertinya ubi akan menjadi makanan kesukaan saya jika Kinanti akan memberikan untuk ketiga kalinya.
"Terima kasih, Kinanti." Saya berucap seraya tersenyum padanya.
"Sama-sama, Mas."