Surat Cinta

Bluerianzy
Chapter #10

10. Kinanti Bersedih

Hari ini saya sudah tiba di kantor lima menit lebih cepat dari biasanya dan pekerjaan di kantor sedang saya kerjakan dengan teliti agar tidak ada kesalahan kecil yang pernah saya lakukan sebelum-sebelumnya. Mendengar adanya suara meja kerja yang diketuk membuat saya menoleh pada Ferdi yang berdiri di samping saya lantas dengan kening yang mengernyit kedua mata ini menatapnya seraya menduga-duga mengenai tujuannya yang ada di sini.

"Ada apa, Di?"

Ferdi menatap saya dengan serius. "Kamu sungguh tidak mau berkenalan dengan perempuan yang ingin saya kenalkan?"

Detik ini saya pun menghela napas. "Iya, mau kamu bertanya beribu-ribu kali pun saya tetap tidak mau."

Benar, saya tidak berminat berkenalan dengan perempuan lain. Cukup hidup sesuai dengan apa yang saya inginkan dan hal tersebut sudah cukup membuat saya senang. Padahal saya sudah menolak tawaran Ferdi tapi lelaki itu masih belum beranjak dari tempatnya berdiri orang itu malah menatap saya dengan memicingkan mata serta tangan kanan yang mengelus dagunya.

"Saya yakin pasti perempuan yang mengantarkan makanan kemarin sudah membuatmu tidak ingin mengenal perempuan lain, kan?"

Sebentar saya menghela napas kemudian menatapnya sedikit kesal. "Jangan asal menebak dan sudah saya katakan sebelumnya jika perempuan itu hanya lah tetangga saya."

Tidak lagi mengusap dagu Ferdi justru mengangguk singkat. "Oh, itu tandanya perempuan yang satu lagi ya?" godanya yang sontak membuat saya terdiam karena perempuan satu lagi yang Ferdi maksud adalah Kinanti.

"Saran saya jika kamu sungguh menyukainya cepat katakan perasaanmu sebelum perempuan itu diambil oleh laki-laki lain."

Usai berkata Ferdi tersenyum kemudian menepuk pundak saya sebelum melangkah pergi menuju meja kerjanya dan detik ini saya terdiam seraya berpikir mengenai perkataannya. Katanya saya menyukai Kinanti? Dan jujur diri ini tidak terlalu yakin dengan hal tersebut, tapi jika diri ini boleh mengatakan sesuatu setiap kali bertemu dengannya saya merasakan kebahagiaan yang berbeda dan entah apa penyebabnya.

"Dimas?"

Saya mengerjapkan mata tersadar dari lamunan singkat dan menoleh pada pak Bambang yang entah sudah berapa lama berdiri di samping saya.

"Ada ada, Pak Bambang?"

Beliau menaruh beberapa lembar kertas di atas meja kerja. "Tolong perbaiki bagian laporan yang salah, saya tunggu sampai pukul empat sore."

Perintah yang pak Bambang berikan membuat saya refleks menganggukkan kepala. "Baik, Pak."

Ditambahnya satu pekerjaan membuat saya menghela napas karena sekiranya diri ini menebak jika nanti saya akan terlambat pulang ke rumah.


Lihat selengkapnya