Bau masakan yang tercium di hidung membuat kedua mata saya yang sempat terpejam terbuka dan saya terbangun dari tidur bukan karena Ibu yang membangunkan. Segera saya mengubah posisi yang sebelumnya berbaring di atas ranjang menjadi duduk di pinggir ranjang, dengan kesadaran yang belum stabil saya bangkit dari duduk kemudian melangkah keluar menuju dapur untuk mengetahui pagi ini makanan apa yang telah dibuat oleh Ibu.
"Selamat pagi, Mas Dimas." Kinanti menyapa dengan senyum manisnya membuat diri ini sempat terdiam mematung.
Sambil mengerjapkan mata saya baru ingat jika Kinanti menginap di rumah dan perempuan itu sudah bangun bahkan menaruh sepiring makanan di atas meja. Saya melangkah mendekat dan mendapati di atas meja sudah tersaji tempe orek, tumis kangkung, ikan goreng, dan sambal hijau.
"Ini semua kamu yang masak?" Saya bertanya yang lantas dibalas gelengan singkat olehnya.
"Tidak kok, saya hanya bantu Ibu saja."
Jika dari raut wajahnya Kinanti berbicara seperti tadi terlihat senang, tapi di dalam hati saya merasa tidak enak hati padanya. "Jangan terlalu memaksakan diri untuk melakukan pekerjaan rumah di sini ya, kamu itu tamu seharusnya kamu tidak usah melakukan apa-apa."
"Iya, Mas. Saya tahu, tapi walaupun saya di sini sebagai tamu setidaknya saya harus tahu diri. Sudah bagus diberi tempat tinggal tapi saya malah tidak melakukan apa-apa." Kinanti berkata seperti tadi dan di akhiri oleh senyuman.
Dan secara tidak langsung Kinanti mengatakan jika dirinya senang membantu, tapi tetap saja saya merasa tidak enak hati padanya.
"Kamu sudah bangun, Nak?" tanya Ibu yang datang membawa teko dan gelas lantas menaruhnya di atas meja. "Ayo, kita makan. Kinanti hebat sekali loh ternyata dia pandai memasak."
Kinanti terlihat malu-malu saat mendapat pujian. "Terima kasih, Bu. Tapi masakan Ibu jauh lebih enak."
Saling memuji dan saling malu-malu. Benar, begitulah perempuan. Saya yang satu-satunya laki-laki di sini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Ayo, Dimas. Kita makan," tawar Ibu saat menatap anak semata wayangnya yang sejak tadi hanya diam saja.
"Sebentar, Bu. Dimas mau cuci muka dulu." Selesai berbicara saya segera beranjak pergi menuju kamar mandi.
Sepasang sepatu pantofel dengan kulit imitasi yang mulai mengelupas terpasang dengan pas di kedua kaki ini, saya sudah berpakaian rapi bahkan berpamitan dengan Ibu yang sibuk membersihkan rumah. Kinanti tidak ada di dalam kata Ibu perempuan itu izin keluar saat saya sedang mandi dan mungkin tujuannya berada di luar rumah sekadar jalan-jalan sebentar sembari menghirup udara pagi yang menyegarkan.
"Mas Dimas ingin berangkat kerja?"
Di teras rumah saya menoleh mendapati keberadaan Kinanti yang sudah kembali. "Iya."