Sudah tiga hari Kinanti masih menginap di rumah dan sama sekali Ibu tidak merasa keberatan justru Ibu berkata saat adanya Kinanti di rumah beliau senang seperti mendapatkan seorang anak perempuan yang pandai melakukan banyak hal. Dan ya, semenjak saya ingin mengenalnya lebih jauh perlahan-lahan saya mulai mengetahui beberapa hal tentangnya. Kinanti menyukai buah apel, Kinanti menyukai kucing, Kinanti menyukai suasana setelah hujan, dan terakhir Kinanti menyukai aroma kayu manis.
Dan saat pulang bekerja rasa lelah yang sempat singgah perlahan menghilang, saya tersenyum karena di teras rumah kedua mata ini mendapati keberadaan Kinanti dan Ibu sedang berbincang, entah membicarakan apa tapi yang jelas keduanya terlihat akrab padahal seperti seorang anak perempuan dan Ibu yang akur.
"Sedang membicarakan apa sih? Sampai asyik seperti itu?" tanya saya kepada mereka yang lantas menolehkan kepala secara bersamaan.
"Kamu ingin tahu ya? Sayangnya Ibu tidak ingin memberi tahu," ucap Ibu di akhiri oleh kekehan pelan.
Saya tahu ucapan Ibu tadi hanyalah candaan, tapi di sini saya berpura-pura terlihat kesal padanya lantas karena candaan yang Ibu kontrakan membuat kedua mata ini menatap Kinanti yang sedang tersenyum.
"Ibu cerita apa saja sama kamu?"
Perempuan itu tidak langsung menjawab pertanyaan saya melainkan menatap Ibu sebentar seakan meminta persetujuan darinya dan Ibu yang menyadari tatapan mata itu hanya mengangguk pelan dan baru lah Kinanti mengeluarkan suaranya.
"Ibu hanya bercerita tentang masa kecilnya Mas Dimas saja."
Sejenak saya terdiam karena begitu banyak masa kecil yang bisa Ibu ceritakan pada Kinanti, tapi yang menjadi fokus saya saat ini adalah tentang kejadian itu. Kejadian di mana saya pernah menangis histeris melarikan diri menaiki pohon mangga karena tidak ingin disunat, karena waktu itu ada beberapa orang yang menakut-nakuti saya jika disunat itu rasanya menyakitkan dan maka dari itu saya memilih untuk kabur meski akhirnya tertangkap juga. Sungguh, saya tidak berharap Ibu menceritakan kejadian memalukan itu pada Kinanti. Maka dari itu lebih baik saya bertanya langsung pada beliau agar hati ini tidak lagi merasa gelisah.
"Omong-omong, Ibu tidak menceritakan tentang kejadian itu, kan?"
Saya begitu berharap semoga gelengan kepala yang akan Ibu perlihatkan, tapi justru beliau malah kembali tertawa pelan hingga menimbulkan kecurigaan di dalam hati ini. "Oh, tentu saja Ibu ceritakan. Sayang sekali jika kejadian kamu disunat tidak Ibu ceritakan pada Kinanti."
Saya melongo, syok sekaligus kecewa betapa teganya Ibu menceritakan kejadian itu pada Kinanti. "Ibu kenapa tega sekali?"
Kali ini saya tidak lagi berpura-pura kesal dan mungkin tampang saya ini terlihat jelek di mata Ibu hingga membuatnya kembali tertawa.
"Jangan marah, Kinanti juga tidak akan meledeki kamu kok." Ibu menoleh menatap Kinanti yang diam menyimak. "Iya kan, Nak?" lanjutnya seraya meminta kepastian.
Lalu Kinanti hanya membalas dengan anggukan singkat, meski begitu saya tahu pasti Kinanti tertawa di dalam hatinya karena kejadian saat disunat benar-benar memalukan. Karena Ibu sudah terlanjur bercerita untuk meredakan rasa kesal di hati saya mengembuskan napas. Terserahlah saya malas berdebat lagi pula Ibu sudah terlanjur bercerita jadi biarkan diri ini menanggung malu untuk beberapa saat.
"Terserah Ibu saja lah, Dimas ingin masuk dulu." Saya berucap meninggalkan Ibu dan Kinanti yang masih betah duduk di kursi teras rumah.