Surat Cinta

Bluerianzy
Chapter #14

14. Pergi, Berharap Kembali

Sama seperti hari-hari biasanya, setelah pulang bekerja dengan berjalan kaki rasa lelah selalu menghampiri seakan rasa lelah itu bertengger dengan manis di kedua pundak saya dan setibanya di rumah kening ini mengernyit merasakan ada yang berbeda dari kemarin sebab beberapa hari sebelumnya setiap saya pulang bekerja akan ada Kinanti dan Ibu yang berbincang santai di teras rumah. Tapi sore ini tidak begitu teras rumah terlihat kosong.

Tapi saya langsung berasumsi jika Ibu dan Kinanti sedang ada di dalam rumah, mungkin keduanya sedang menyiapkan makanan untuk dimakan bersama?

Seharusnya jika saya sudah memasuki rumah, suara gemericik minyak panas karena menggoreng makanan bisa terdengar atau suara cobek yang digunakan untuk menghaluskan bumbu-bumbu, tapi sama sekali saya tidak mendengarnya dan segera kedua kaki ini melangkah menuju dapur dan ternyata dugaan saya salah, tidak ada Ibu maupun Kinanti di dapur lantas mereka ada di mana? Apakah mungkin ada di kamar masing-masing?

Namun saat saya menghampiri kamar Ibu dan mengetuk pintunya sebanyak tiga kali tidak terdengar suara sahutan dari dalam dan segera saya beranjak menuju kamar yang ditempati oleh Kinanti. Melakukan hal yang sama dan lagi-lagi tidak ada sahutan dari dalam, sesaat saya terdiam sekaligus bertanya-tanya pada diri sendiri, ke mana perginya mereka? Kenapa mereka pergi di saat saya sudah pulang bekerja.

"Ibu? Kinanti? Kalian di mana?"

Suara saya memanggil mereka dengan harapan keduanya segera muncul di hadapan saya, tapi harapan hanya sekadar harapan. Tidak akan ada artinya jika tidak terkabulkan.

Menaruh tas selempang di atas meja, tidak membersihkan diri atau mengganti baju terlebih dahulu karena detik ini saya berniat untuk mencari mereka pasalnya entah kenapa perasaan saya tiba-tiba menjadi tidak enak, takut terjadi sesuatu pada keduanya atau salah satu dari mereka.

Padahal saya baru berada di depan rumah, tapi keberadaan Ibu yang berjalan dengan langkah tergesa-gesa dengan tampang yang terlihat khawatir membuat diri ini ikut merasakan kekhawatiran yang dirasakan terlebih Ibu hanya datang sendiri, tidak ada Kinanti yang menemani.

"DIMAS!" Ibu memanggil nama saya ketika dirinya sudah berdiri di hadapan saya.

"Ibu kenapa?" Saya bertanya masih dengan rasa khawatir.

"Kinanti, Nak!" ucap Ibu sembari memegang kedua lengan saya dengan erat.

Detik ini saya merasa gelisah karena pasti perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. "Kinanti kenapa, Bu?"

"Kinanti dibawa oleh orang lain, Ibu tidak bisa mencegahnya." Kedua mata Ibu berkaca-kaca seperti ingin menangis merasa bersalah.

Segera saya berlari mencari Kinanti yang entah berada di mana. Berlari dan terus berlari, tanpa mengenal rasa lelah maupun letih. Sembari saya bertanya-tanya pada diri sini, siapa orang itu dan apa alasannya? Kenapa harus Kinanti yang dibawa pergi? Apakah Kinanti akan baik-baik saja? Apakah Kinanti tidak takut dengan orang itu?

Rasa lelah sekaligus kesal yang dirasa membuat diri ini mengacak rambut dengan kasar bahkan sampai menggeram meluapkan kekesalan. Rasa lelah yang dirasa membuat langkah saya terhenti, berdiam diri di pinggir jalan dengan perasaan gelisah. Sungguh, saya harus mencarinya di mana lagi? Terhitung sudah cukup banyak tempat-tempat yang diri ini lewati untuk mencarinya.

Saya harap Kinanti masih ada di sekitar sini, tapi lagi-lagi harapan hanya sekadar harapan. Di mana pun saya mencari sosoknya tidak terlihat, Kinanti sudah pergi.

Putus asa yang tiba-tiba datang membuat diri ini segera kembali ke rumah membawa rasa kecewa, sedih, kesal, dan lain sebagainya. Pasti Ibu menunggu sembari berharap saya berhasil membawa Kinanti pulang, tapi sayangnya kekecewaan yang harus saya bawa pulang.

Lihat selengkapnya