Kondisi tubuh saya sudah membaik bahkan hari ini sudah berangkat bekerja sibuk dengan kertas-kertas menumpuk yang harus diselesaikan hari ini juga. Berkas-berkas yang harus diperiksa membuat sepenuhnya fokus saya tertuju pada pekerjaan sampai suara meja yang sengaja diketuk membuat kepala ini refleks menoleh.
Dan seperti biasa, di saat saya bekerja pasti Ferdi yang selalu datang entah untuk mengganggu atau untuk meminta bantuan.
"Kenapa kemarin kamu tidak bekerja?" tanya Ferdi entah sekadar basa-basi atau penasaran.
"Saya demam."
"Sudah sembuh?"
Saya menghela napas singkat. "Jika belum sembuh, saya tidak mungkin ada di sini." Respons Ferdi hanya sebatas cengengesan.
"Oh iya, Dim. Lusa setelah pulang bekerja boleh saya main ke rumah kamu?"
Tanpa banyak berpikir saya menganggukkan kepala. "Silakan, asalkan kamu tidak merepotkan Ibu saya."
"Tenang saja, saya cukup tahu diri kok."
"Ya sudah, sana kembali bekerja. Mau gajimu dipotong hanya karena mengajak saya mengobrol?"
Dia mencebikkan bibir sementara saya tertawa pelan.
"Lama-lama kamu sama berisiknya dengan beliau." Dia menjulurkan lidah dengan maksud meledek kemudian melangkah pergi menuju meja kerjanya.
Omong-omong, beliau yang Ferdi maksud adalah Pak Bambang karena memang atas kami yang satu itu memang berisik terlebih jika ada karyawan yang malas-malasan saat bekerja, beliau bisa berkicau layaknya burung sampai setengah jam lamanya tapi jika suasana hatinya sedang berantakan bisa sampai dua kali lipat. Tapi meski Pak Bambang berisik, beliau adalah atas yang baik sering memberi makanan kepada karyawannya, menjelaskan sesuatu hal yang tidak dipahami oleh karyawannya, sering menanyakan kabar karyawannya dan masih banyak lagi.
Dan lupakan soal beliau karena saya harus kembali fokus bekerja sebelum jam kerja berakhir.
"Dimas?"
Untuk kedua kalinya kepala ini kembali menoleh, bukan pada Ferdi melainkan pada beliau yang sempat saya bicarakan. Benar, tanpa adanya dugaan sama sekali Pak Bambang tiba-tiba saja berdiri di samping saya.
"Ada apa, Pak?"
"Ikut ke ruangan saya."
Saya terdiam cukup terkejut atas ajakan beliau yang meminta saya untuk datang ke ruangannya karena pasti akan ada hal penting yang ingin beliau katakan. Tapi apa hal penting itu? Saya tidak tahu dan hal itu membuat saya penasaran sekaligus berdebar-debar.
"Sekarang, Pak?"
"Tentu saja, kamu pikir saya menyuruh kamu untuk datang besok?"
Saya meringis pelan. "Maaf, Pak."
Lantas beliau membalikkan badannya berjalan terlebih dahulu sementara saya menyusul di belakangnya. Menuju ruangannya saya bertanya-tanya pada diri sendiri mengenai alasannya. Apa mungkin alasan saya diminta untuk mengikuti ke ruangannya karena kemarin tidak masuk bekerja? Apa karena tadi beliau mendengar percakapan saya dengan Ferdi? Apa karena saya melakukan kesalahan fatal dan mengakibatkan dipecat? Tolong pergilah semua pikiran jelek yang memenuhi isi kepala, pergi sejauh mungkin.
Dan setibanya di ruangannya saya menghela napas sebentar sekadar menenangkan diri sembari berharap semoga alasannya bukan tentang hal yang buruk. Lantas ketika kedua kaki ini sudah memasuki ruangan Pak Bambang saya mendapati keberadaan seseorang yang cukup dikenali, beliau adalah Pak Muklis bisa dibilang jabatannya lebih tinggi dari Pak Bambang dan saya menghormatinya.
"Selamat siang, Pak Muklis." Saya menyapanya dan beliau membalas sapaan saya dengan seulas senyuman.
"Silakan duduk." Begitu katanya yang segera membuat saya duduk di hadapannya.
Beliau menatap saya dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Jadi benar kamu yang bernama Dimas?"