Jam makan siang sudah tiba, saya yang sudah membereskan meja dari berkas-berkas segera membuka rantang makanan yang Kinanti berikan dan senyum lebar mampir di wajah saya karena ternyata rantang dua susun yang menyimpan makanan itu berisi nasi putih, ayam goreng, tumis kacang panjang, dan orek tempe.
Jika boleh jujur sejak jam kerja berlangsung saya begitu tidak sabaran menunggu jam makan siang tiba dan sekarang saya boleh memakannya sampai habis, pikiran saya mengatakan rasa masakan Kinanti sudah pasti enak karena perempuan itu tidak pernah gagal dalam memasak.
"Wah, hari ini kamu bawa bekal?" Ferdi tiba-tiba datang tersenyum semringah melihat makanan di atas meja saya. "Boleh saya minta?" lanjutnya yang tentu jawabannya adalah tidak, karena makanan yang Kinanti buatkan hanya boleh saya yang memakannya.
"Maaf, tapi saya tidak mau membaginya dengan siapa pun termasuk kamu." Saya menggeser rantang makanan menjauh dari Ferdi agar dia tidak mengambilnya dengan seenak jidatnya.
Ferdi yang melihat sikap saya ini malah mencebikkan bibirnya. "Kenapa sih? Pelit sekali, biasanya juga kamu tidak begini.
Benar, saya memang harus mengatakannya supaya orang itu tidak lagi menyuruh saya untuk berkenalan dengan perempuan lain karena hati ini sudah menjadi milik Kinanti. "Karena makanan ini dibuat oleh seseorang yang begitu spesial bagi saya."
Salah satu alisnya sedikit terangkat. "Siapa perempuan itu? Pasti dia yang waktu itu pernah datang memberikan kamu makanan ya? Kalau tidak salah kamu pernah menyebutkan sebagai tetangga?"
Perempuan yang Ferdi maksud membuat saya menghela napas karena tebakannya benar-benar salah. "Bukan, perempuan yang itu. Tapi satunya lagi. Saya sudah menyatakan cinta padanya." Sambil membayangkan wajah Kinanti kedua sudut bibir ini terangkat membentuk sebuah senyuman.
"Wah, saya pikir kamu tidak berani menyatakan perasaan pada seorang perempuan," ledeknya seraya terkekeh pelan. "Tapi ternyata kamu sudah memiliki kekasih, saya senang mendengarnya," lanjutnya dengan mengacungkan kedua ibu jarinya.
Walaupun tadi Ferdi sempat meledek tapi setidaknya dia ikut merasakan kesenangan yang sedang saya rasakan. "Terima kasih."
"Kalau kamu tidak mau membagi makanan itu kepada saya, bisa kan temani saya membeli makanan di seberang jalan?" pintanya.
Tanpa memikir terlebih dahulu saya menggelengkan kepala karena jujur saya malas menemaninya terlebih saya sudah tidak sabar ingin menghabiskan makanan yang Kinanti buatkan. "Tidak mau, saya malas kamu kan bisa pergi sendiri."
Lantas wajahnya menjadi memelas dan terlihat jelek sekali. "Ayolah, Dim. Temani saya ya? Sekali ini saja, saya mohon."
Saya masih terdiam sementara Ferdi semakin memperlihatkan wajah memelas nya dan karena tampangnya itu membuat saya menghela napas lantas makanan yang Kinanti buatkan saya simpan dulu karena Ferdi berhasil membuat saya tidak bisa menolak permintaannya.
"Iya, saya temani," ucap saya setelah beranjak dari duduk.
"Terima kasih, Dim. Kamu memang teman yang terbaik!" pujinya sembari tersenyum lebar.
Ferdi terlebih dahulu berjalan dan saya menyusulnya dari belakang, kami akan pergi ke seberang jalan karena memang tempat makan yang sering dikunjungi oleh karyawan percetakan berada tepat di seberang kantor kami.
"Mas Dimas!"
Di sini bukan hanya saya saja yang menolehkan kepala, Ferdi yang berdiri di samping saya juga melakukannya. Padahal kami akan menyeberangi jalan tapi Ranti tiba-tiba datang dan menghampiri.
"Ada apa kamu ke sini?" Tentu pertanyaan itu yang terucap dari mulut ini saat Ranti dengan senyumnya berdiri di hadapan saya.
"Saya ingin memberikan ini untuk Mas Dimas." Perempuan itu memberikan rantang makanan dua susun dan tangan ini tidak bisa menerimanya begitu saja.
Padahal waktu itu saya pernah mengatakan padanya tidak usah membawakan makanan lagi, tapi ternyata Ranti keras kepala dan menganggap ucapan saya waktu itu tidak serius untuknya.
"Ranti, saya pernah bilang sama kamu tidak usah repot-repot membawa makanan seperti ini. Saya masih bisa membeli makanan sendiri."
"Tapi Ranti sama sekali tidak merasa keberatan, Mas. Ranti suka memberi makanan untuk Mas Dimas," ucapnya masih memegang rantang makanan.
Di sini saya langsung terdiam karena jujur saya tidak bisa menerima makanan pemberiannya sebab perut ini pasti tidak sanggup menghabiskan dua makanan sekaligus. Jika saya memaksa memakan keduanya bisa-bisanya saat bekerja nanti saya menjadi tidak fokus karena terlalu kekenyangan.
"Bawa pulang saja ya? Saya tidak bisa menerimanya."
Raut wajahnya langsung cemberut. "Kenapa, Mas? Padahal Ranti sudah susah payah memasaknya loh."
Ferdi yang masih ada di sini menyikut saya dan saat mata ini melirik padanya, orang itu seperti mengatakan jika saya tega pada Ranti dan sesaat saya menghela napas. Tapi sekali lagi saya memang harus menolak makanan pemberiannya alasan pertama memang karena sudah ada makanan dari Kinanti dan alasan kedua supaya Ranti tidak lagi memberikan makanan.
"Kamu ingin tahu apa alasannya?"
Dengan gerakan pelan Ranti menganggukkan kepalanya.
"Sebelum kamu datang, Kinanti sudah memberikan bekal makanan untuk saya."