Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #2

Kupu-Kupu Hinggap di Wajahmu

Kala itu sebelum seorang lelaki kehilangan nalurinya. Sebelum banjir melanda solo dengan deras.


Di pagi yang rimbun oleh kicau burung gereja. Hinggap lah kawanan itu di tangkai pohon sawo kecik yang tumbuh subur di depan teras toko buku kecil. Juga para siluman yang tengah membuat kerajaan di garis-garis celah batangnya, selalu membawa upeti berupa kesialan pada pemilik rumah menurut legenda yang terdengar.

“Aku jadi percaya kalau pohon sawo kecik bisa membawa kesialan jika dibiarkan tumbuh di halaman, karena toko bukumu kelewat sepi Bang.” Kasim memberi sedikit saran. Seorang mahasiswa Universitas Kota Praja Surakarta (UPKS) itu lebih sering mampir ke toko buku ketimbang di ruang-ruang kelas. Ia selalu merasa bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari ketimbang cuma buku pelajaran; Kuno. Begitu ia mengejek setelah menamatkan setumpuk buku dari para dosen.

Dan kini Kasim sedang mengamati sebuah pohon, Ia bicara dengan jambul rambut yang bergoyang setiap kali membuka mulut. Seperti Elvis Presley sahutnya, lalu Sang pemilik toko buku akan coba meraih jambul itu dan mengakhirinya dengan “Hm!” atau “pret” sebab ia tak kenal betul siapa itu Elvis Presley. 

Setiap kali Kasim datang, Ia selalu terganggu oleh pohon sawo kecik yang walaupun nampak rindang, di waktu yang sama pula terlihat acak-adul tak terawat. 

“Papan nama tokonya tertutup daun.” Begitu ia sadar dan tak perlu mempercayai hal klenik seperti sang pemilik toko buku yang terlanjur menyajikan bau kemenyan di bawah pohon itu. Buang Sial. Istilah yang selalu dilontarkan ketika kasim mengkritik aksinya.

Namun sang pemilik toko buku tak dapat menuruti Kasim dan menebang sawo kecik begitu saja, sebab batang pohon itu jauh lebih dahulu mengontrak di halaman depan sebelum ia membayar uang muka. Ia tak ingin membuat penghuninya marah, mendatangkan sial lebih banyak daripada yang seharusnya. Perkara tanah ini milik siapa, memang sengketa yang lebih baik dihindari. 

Milik tuhan? Sayang sekali karena Sang pemilik toko buku masih tak berkeyakinan begitu, itulah mengapa selalu disajikan ubo rampe setiap seminggu sekali sebagai tanda damai pada siluman-siluman. Kelapa hijau, kembang melati, telur ayam kampung, dan tiga lirang pisang mas beradu dengan aroma kemenyan dalam setampah ubo rampe itu. Beruntung Ia tumbuh di kalangan jawa. Membuatnya mengerti harus bertindak seperti apa.

Memilih bertetangga dan hidup damai dengan para siluman, Pria itu juga harus bertahan hidup dengan membuka toko buku kecil. Toko Buku Magani. Plang nama yang tertempel di bagian depan bangunan khas belanda, dengan pintu roda gulung yang terbentang di sisi depan, sedang terdapat dua lubang kecil di kanan dan kiri bangunan. Tembok berventilasi mini, hampir tak berguna sama sekali.

Nama Toko Buku Magani diambil dari nama belakang pemiliknya, Kakar Magani. Pemberian dari orang tua sewaktu lahir. Magani yang berarti menyenangkan dari bahasa kawi, rupanya cocok untuk menangkal kesialan di pohon sawo kecik yang semakin rimbun. Sehingga firasat baiknya itu menjadi pilihan akhir. Sebuah nama telah tercetak di plang papan berwarna merah yang mengintip di sela-sela ranting pohon sawo kecik.

Tiap pagi setelah Kakar menyapu daun-daun kecil yang jatuh dan kering, Ia akan menggelar papan-papan dan mulai meletakkan buku sesuai dengan tempatnya. Buku komik dan fiksi remaja biasanya ditempatkan di paling depan, sebab buku-buku itu yang paling laku dibanding lainnya. 

Gundala Putera Petir, Si Buta dari Gua Hantu, dan komik serupa super hero atau silat kepunyaan Hans Jadalara atau Ganes Th selalu ludes setelah muncul versi terbarunya. Para anak-anak selalu merengek kepada ibu mereka, saat melihat gambar-gambar yang garang itu terpajang. Dan begitu pula Toko Buku Magani menjadi musuh besar bagi bagi ibu-ibu yang lewat dan terpaksa membeli sebuah komik karena malu dengan jerit anaknya.

Sementara di dalam toko terbentang rak-rak buku hingga ke belakang, menjorok ke dalam ruko hingga terlihat singup dari luar. Gelap dan kedap udara. Terasa hampir tak ada kehidupan yang layak di pojok mengerikan itu, ekosistem yang bagus untuk persembunyian bagi buku-buku terlarang.

Begitulah mereka menyebutnya, Buku Kiri, buku-buku yang tidak boleh dibaca sembarang orang karena boleh jadi siapapun yang membacanya tak dapat keluar dari isi pikirannya sendiri, perlahan mati dan terkutuk kemudian.

Namun bagi beberapa mahasiswa, sebuah larangan adalah kebenaran tertunda yang harus dibuktikan. Mereka justru memilih menenggak racun itu dan rela dikutuk jadi apapun. Seperti halnya kasim dan kawan-kawannya. Mereka selalu datang, duduk berlama-lama di bagian singup Toko Buku Magani. Membaca lembar-lembar buku terlarang, walau tak pernah membelinya.

“Apa tidak takut kau baca buku-buku itu?” Kakar bertanya, menyundut sebatang kelir tembakau yang dililitkan pada secarik kertas sigaret. Jres. Api membakar ujungnya, asap menggulung-gulung ke udara.

Sedang kasim masih sibuk mencermati buku di pangkuannya, di sudut singup. Hanya gelap. Celetuknya acuh, “Kalau baca buku saja orang sudah takut, bagaimana mau hidup dengan bebas.” Akibatnya Kakar sang Pemilik Toko Buku hampir tersedak asap bergumul yang terpenjara dalam mulutnya setelah mendengar jawaban Kasim.

Sedangkan di radio yang serak suara semut, orang penting di pemerintahan selalu saja bilang. “Selamatkan moral bangsa, jauhi buku-buku yang meracuni otak para pemuda.” Itulah mengapa buku-buku terlarang itu diletakkan di bagian paling dalam, nyaris tak terlihat dari luar.

Seringkali radio itu disetel walau telah ringsek. Sambil duduk di depan toko buku, kenop bergerigi di kotak bersuara diputar dan mengarahkan antena ke kanan kiri. Mencari saluran yang ingin didengar. Suara yang tipis dan nyaring, tampak seperti berasal dari planet yang berbeda. Kini sebuah tembang keroncong mendayu-dayu.

Sapu tangan di waktu sekarang

Jadi hiburanku

Karena kekasihku sekarang

Tinggalkan diriku

Gamat-gamat gesekan giginya, mantuk-mantuk kepalanya sambil menyanyikan lagu Sapu Tangan milik Gesang itu dengan sesapan tembakau yang hampir tak disadari akan segera habis. Bara api nyaris menyentuh lipatan jemari. Lantas pria itu melempar begitu saja bara api menyala pada lantai, menginjak-injak puntung rokok hingga padam. Tinggalah sisa tiga centimeter. Tak sudi kuhisap lagi.

--------

Keluar dari bilik singup. Kasim seperti manusia purba yang baru mengenal dunia luar, ia terlalu lama melihat kegelapan sehingga matanya buram, membuat ia harus beradaptasi dengan cahaya matahari. Matanya masih memicing, seruputnya satu batang rokok. Jres. Sekali lagi Kakar pun ikut menghisap lintingan tembakau yang baru.

“Kau tidak punya teman ya, atau pacar?” Pemilik toko buku itu selalu penasaran, sebab Kasim lebih sering berada di dalam tempat singup itu dibandingkan berada di kampus. Dalam sehari, ia bisa datang dua kali. Saat baru buka seperti pagi ini dan nanti malam setelah ia merampungkan kelasnya. Boleh jadi ia akan bertahan sampai pagi, namun Kakar harus mengusirnya tepat pukul dua belas malam. Lalu ia datang esok paginya, dan besoknya lagi.

“Kau saja tak punya perempuan yang bisa digauli bang, kenapa mengurusi ku.” Balas Kasim, masih duduk bersebelahan. Omongannya memang selalu apa adanya, lebih menyakitkan barangkali dari sebilah pisau atau golok. Membabat lawan bicaranya.

“Kalau soal perempuan aku sudah tamat.” Kakar tak mau kalah, menyombongkan diri memang perlu di depan pemuda sok seperti Kasim. 

“Kau memang sudah pernah kawin dan sekarang menduda, dan itu artinya kau tidak paham soal wanita. Itu kenapa kau cerai.” Kasim menjelaskan. 

“Setidaknya aku sudah pernah kawin.” 

Walau Kakar kawin cerai dengan istrinya yang di Semarang. Tetapi lelaki itu tidak menyesalinya. Sebab mantan istrinya barangkali lebih kejam dari tarantula saat tiba musim kawin. Sang betina bakal datang dengan tubuh telanjang, mengundang para jantan untuk kawin dengannya. Sedang mereka kawin, besoknya sang jantan mati terkulai begitu saja. Aku tak mau mati karena seks. Ngeri.

Perempuan itu seperti punya kelainan jiwa saat sedang birahi. Entah kerasukan setan apa, seikat tali tambang diikat ke empat sisi dipan. Kedua kaki dan kedua tangan sang pria tak bisa bergerak, sedang kemaluan sudah berdiri tegak seperti lidi. Sesekali dipecut. Aku tak mau mengulanginya lagi. Cukup satu anak hasil perkawinan itu. Kakar meninggalkan perempuan gila itu bersama satu bayi perempuan di Semarang. Dan sebagai ayah, Ia tak mengetahui bagaimana bentuk bayinya setelah lima tahun berselang.

“Itu namanya fantasi. Kau malah kabur ke Solo menghindari birahinya, dasar lemah.” Kasim selalu menuduh pria disampingnya lemah, barangkali kakar menyesal pernah menceritakannya sedikit tentang persoalan kasur.

“Ya, itu fantasi-horror.” Lantas mereka berdua terbahak-bahak, menghabiskan satu sisa lintingan rokok di tangan masing-masing.

Lamat-lamat suara radio masih berdesing ditengah gelak tawa itu. Dari tembang keroncong yang semula mendayu-dayu berubah jadi cuap-cuap. Namun masih dalam suara yang sama. Sama seperti dari planet lain. Ringsek. Mereka berdua menghentikan mulutnya, dan seperti seorang lelaki yang gila seks. Kasim itu gila, seperti bergairah ketika mendengar berita. Ia perintahkan sebuah tangan untuk memutar knop volume sehingga suara menjadi lebih kencang.

Saudara-saudara….

Suara itu terdengar seperti peringatan darurat, lirih namun merayap-rayap di telinga. Dan seperti najis yang harus dibilas air wudhu, atau tak cukup dengan itu. Karena Komunis memang pantas mati. Begitu kata mereka. 

Gaung-gaung itu terus menyebar ke seluruh masyarakat lewat radio sejak para jenderal terbunuh di lubang buaya. Membakar sumbu amarah. Satu solo geger. Apalagi solo menjadi basis perkumpulan partai merah. Jelas jika semua tak baik-baik saja.

“Lagi-lagi soal komunis, ya?” Kakar berdecak malas. Tak henti-henti ia mendengar soal anti-komunis, seolah mereka mengganjal seperti batu ginjal, negara perlu dokter spesialis.

“Ya, karena negara ini belum tentu arahnya. Masih gampang diombang-ambing seperti kapal di tengah lautan. Bisa-bisa terdampar ke tepi yang salah, bisa-bisa tenggelam.” Jawab kasim, menutup batang rokoknya, padam. Aroma gosong mengudara di antara wajahnya.

“Kenapa bisa begitu?” Tak ada jawaban, seperti sebuah teka-teki dalam kepalanya.

Sudah tak usah dipikir. Sebab rupanya hidup lima tahun di solo tak membuat kakar mengenal lebih jauh tentang kota ini.

Saat ini kondisinya memang begitu sulit untuk dimengerti. Enam jenderal dan satu perwira yang tewas, harus dibalas ratusan ribu nyawa partai merah dan simpatisan yang boleh ditebas kapan saja. Seperti sebuah sayembara tanpa hadiah, melainkan hanya kepuasan. Siapa paling banyak memenggal kepala komunis, mereka merasa seperti pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, itu semua terjadi karena amarah di masyarakat kian memuncak. 

Lihat selengkapnya