Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #3

Surat Kabar, Lelaki Goa, dan Kotak Besi


Dari muara hingga lekuk sungai-sungai. Adakah yang mengantarkan kami sampai ke samudera? Atau barangkali hanya mengalir sampai ke rawa-rawa. Tak berpenghuni, sepi.


“Kakar Magani, panggil Kakar saja.” Sekali lagi aku sampaikan, agar perempuan itu mengingatnya dengan jelas. Sebab kami belum sempat berkenalan dengan baik kala itu. Ia datang kembali ke Toko Buku Magani pada sebuah minggu pagi. Tepat Setelah ku susun Ubo Rampe dan semua urusan ritual dijalankan seperti biasa. Sehingga rempah-rempah yang sangit masih mencetak aroma di garis tanganku.

“Dimana abangmu, si Kasim?” Aku bertanya padanya, sebab aku benar-benar tak tahu apa maksud kedatangannya pagi ini. Dan Kasim, tumben sekali pria cungkring bersetelan klimis itu belum memunculkan batang hidungnya.

Berat hati ia bicara, “Sudah hilang sejak subuh, mungkin berkuliah.” Jelas sekali bahwa Lintang tak tahu tentang Lingkar Solo. Organisasi gelap yang dijalankan oleh mahasiswa kutu buku dan dua seniman gila. Barangkali Kasim sudah merangsek di rumah hantu yang pernah ia ceritakan itu.

“Mas Kakar pasti kehilangan, sudah ku cuci. Karena tidak senonoh selimut ini telah dipakai perempuan yang bukan siapa-siapa.” Lanjutnya, Ia coba menjelaskan. Satu selimut coklat disodorkan seperti saat upacara bendera. Terlipat rapi. Pantas saja, aku sudah mencarinya di bilik-bilik dan rak buku. Namun tak pernah ada. 

Dan kurengkuh selimut itu di pelukanku. Halus, lembut. Masih wangi, sebab sudah lama aku tak mencucinya. Atau memang tak pernah sama sekali.

“Ya, ya jadi begitu. Tapi tidak usah repot begini seharusnya.” Kutawarkan sebuah kursi panjang.

Namun ia tak mendekati kursi panjang dari susunan kayu itu, lantaran sebuah gereja yang terletak di seberang Toko Buku Magani menuntutnya untuk terburu-buru. Baris-baris di pintu besar itu, dikerubungi oleh para jemaat. 

“Boleh saya ikut?” Aku meminta, sebab selain aku penasaran seperti apa isi gereja besar dan megah itu. Aku juga sedikit bosan bergumul dengan buku-buku ini. Rasanya hampir kulipat daun mataku ketika buku-buku itu masih setia mengontrak tanpa ada yang membayarnya. Semakin hari Toko Buku Magani memang terlampau sepi, apalagi saat orang-orang di radio bicara tentang komunisme dan buku-buku. Orang jadi ragu untuk menatap lama bacaan mereka, boleh jadi tak ingin menjadi pembangkang seperti yang dikatakan oleh Si serak suara semut di radio itu.

Tanpa penolakan lintang menyetujui keinginanku untuk ikut ke gereja, walaupun ia tahu aku bukan kristen dari bagaimana ia melirik Ubo Rampe di bawah pohon Sawo Kecik itu. Apakah boleh menyembah pohon? Barangkali ia berpikir demikian. Tidak, aku tidak menyembah apapun. Aku hanya takut oleh mereka. Yang tak terlihat.

Dan kini tubuhku telah menyusup di barisan kursi jemaat, di atasku sebuah lampu kristal menggantung-gantung, sementara sebuah altar terpajang dengan kaca patri yang menembuskan cahaya-cahaya kuning, merah, dan ungu. Di lantai-lantai warna itu bersatu. Membentuk perawan maria menggendong anaknya.

Beberapa patung perantaraan menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri, berisi orang-orang kudus. sementara di atas dinding yang hampir menyentuh plafon. Patung Jesus Christ! Seperti tersangkut di salib. Aku ingin sekali menurunkan pria itu dari ikatan. Tidakkah kau ingin melepaskannya? Hampir aku mengucapkannya dengan keras dan membuat orang tersadar bila ini adalah kali pertamaku berada di gereja.

Dari satu not ke not lain terus dirancang secara piawai jadi sebuah melodi yang berputar mengelilingi rongga-rongga di ruangan gereja. Sementara ku lihat Lintang terus bergeming menyanyikan pujian dari bahasa jawa, lalu beralih ke bahasa asing yang sulit untuk ku mengerti maknanya. Sambil manggut-manggut seperti ayam berpatuk pada tanah. Sedang kedua tangannya mengepal di dada dan tatapan matanya berbinar seolah sedang berbicara kepada tuhan.

Selama hampir dua puluh menit kami hanya duduk dan sibuk masing-masing. Lintang dengan harapan dan doa-doanya, sementara Kepalaku hampir meledak sebab pertanyaan-pertanyaan itu berlindung dibalik rasa takjub. Hinggalah saat ibadah pagi itu selesai. Rampung. Dan kami sudah angkat kaki dari tegel yang kalis, terhempas jauh kembali ke paving susun di halaman gereja.

“Apakah Yesus begitu menderita saat disalib sedemikian rupa?” Aku mulai mengeluarkan satu pertanyaan agar kepalaku tak meledak tanpa alasan.

“Menderita. Tapi penderitaan adalah bentuk cintanya. Siapa yang rela merasakan sakit untuk menghapus dosa seluruh manusia di bumi. Cinta apa yang lebih sejati dari penderitaan itu?” Lintang menceritakan bagaimana ia mengenal lelaki yang terpasung di tumpang tindih itu, bermahkota duri.

“Cintanya seperti Rahwana kepada Sinta yang tak terbalas? Sungguh penderitaan.” Jawabku, masih mengingat betul kisah wayang itu hampir mirip seperti cinta tuhan kepada manusia. Hubungan seperti apa yang diharapkan dari sebuah pengorbanan.

Kau terlalu baik untukku. Barangkali begitu yang akan akan kita katakan ketika selesai melakukan dosa. Segala dosa yang terasa menyenangkan, Dan kita bisa kembali mengulanginya tanpa berpikir arah jalan pulang. Sebab tuhan selalu mengizinkan kita kembali ke jalan yang benar, bukan? Bagiku, Tuhan tidak lebih seperti mengurung manusia di sebuah kerangkeng, namun lupa untuk menguncinya.  

“Atau seperti Romeo and Juliet?” Lintang menambahkan, dan kami terbahak-bahak. Pernah suatu kali aku membacanya di toko buku milikku. Barangkali seluruh cinta di dunia adalah kisah tragis, adakah yang tak berakhir sedemikian rupa menyedihkan? 

Tak sadar perbincangan itu telah mengantarkan kami tepat di halaman depan Toko Buku Magani. Dipayungi dahan-dahan dengan daun mengelompok di ujung batang. Kuncup bunga berbentuk bulat telur mengganduli tangkai sebelum jatuh pada tanah.

Ku sumpal jari jemari dengan tembakau, melintingnya jadi satu batang rokok. Jres. Satu kepulan pada mulutku yang asam sejak berada di gereja tadi. Sementara Lintang duduk di bangku panjang.

“Sepertinya mas Kakar perlu mencoba mbako srintil.” Barangkali ia sudah tahu kebiasaanku.

“Aku sudah pernah, abangmu kasim pernah bawa kemari.” Tembakau asal temanggung itu memang punya cita rasa yang berbeda di mulutku. Tembakau srinthil manisnya bukan seperti gula, melainkan lebih seperti manis alami yang muncul dari pembusukan daun tembakau yang difermentasi dalam waktu yang lama, ujar kasim kala itu. Dan benar saja, aku menyukainya. Satu bungkus yang dibawanya sebagai oleh-oleh kala itu telah ludes hanya dalam sepekan. Dan aku tak pernah merasakannya lagi.

“Benar kan, Seperti keajaiban kami punya tembakau yang super seperti Srintil.” Seolah Lintang tahu betul bagaimana tembakau srinthil diperlakukan oleh para lelaki, “Romo punya dua hektar, dan selalu menjanjikan.” Lanjutnya.

Aku hampir memuntahkan asap seperti sebuah letusan gunung berapi ketika mendengar itu, namun beberapa saat kemudian tersadar bahwa mereka memang berasal dari keluarga kaya raya.

“Tapi kenapa Kasim tak melanjutkan perkebunan saja?”

Belum sempat lintang menjawab. Panjang umur bagi Kasim, selongsong tubuhnya telah berada di hadapan kami. Begitu Pula Jenar, Pulung, dan sepasang seniman gila. Mereka yang menggerakkan Lingkar Solo kini berada tepat di teras Toko Buku Magani setelah lama tak tercium kasak-kusuknya.

-----

Kasim agak terkejut saat mendapati adik perempuannya telah lebih dulu akrab oleh Kakar Magani, Si Pemilik Toko Buku. Namun ia tak menegur lebih banyak, Kasim hanya melemparkan satu lirikan mata. Tajam, seperti pisau belati.

Lalu Pulung, si tampan berkacamata yang acuh oleh perang dingin itu telah lebih dahulu masuk ke dalam sudut singup. Jenar menjabat tangan Lintang, baru mengetahui bila Kasim punya seorang adik yang juga akan berkuliah di UPKS. Barangkali ia punya kandidat anggota baru untuk Lingkar Solo. Sementara sepasang seniman gila, Sarwa dan Gelis telah duduk di bangku panjang. Sehingga ada empat orang di bangku itu. Lintang, Kakar, dan sepasang seniman gila yang berpangkuan. Begitu urutannya.

Mengerti bila dua orang itu hanya akan menghisap ganja ketimbang membicarakan buku, Jenar menarik Kasim. Sekarang formasinya seperti semula. Tiga orang ada di sudut singup itu. Dan sepasang seniman gila akan berimajinasi liar; dari situlah muncul gambar-gambar poster berkelas tinggi. Walau seringkali membuat orang-orang mengerutkan dahi saat melihatnya pertama kali, dan jika orang-orang telah melihatnya berulang kali maka sebuah senyuman terjebak di wajah mereka. Seperti baru saja memecahkan sebuah teka-teki besar.

------

Yang Bertanah Air tapi Tak Bertanah. Pulung menunjuk sebuah buku di rak, karya Sabar Antaguna itu dicetak ulang dalam bentuk fotokopian. Dijilid seadanya oleh klip. Lebih mirip seperti sebuah manuskrip kuno ketimbang sebuah buku.

“Harian Rakjat milik PKI dan majalah LEKRA sudah ditutup.” Pulung berkesimpulan, menimbang usul lain untuk masa depan Lingkar Solo. Walau mereka bukan PKI atau memuat paham komunis dalam tulisan-tulisan, namun semua hal yang menentang pemerintahan sama saja dengan noda merah yang harus dihapuskan pula. Lantas kami berada di posisi seperti apa?

“Lingkar Solo lebih seperti pasir pantai. Memecah laut dengan daratan. Tak diinginkan siapapun, samudera menolak, tanah-tanah membuang kami.” Lanjut Pulung. Bicaranya dalam. Menatap manuskrip dengan klip itu.

Jenar yang mendengar kalimat itu, langsung memikirkan sebuah puisi. Lahir begitu saja tanpa perlu mengandung. Sajak-sajak pasir. Sebuah kolom khusus di surat kabar Lingkar Solo yang dicetak esok harinya. 

Bertepatan dengan itu pula, sebuah poster bergambar titik-titik putih; bergumul membentuk pasir. Tenggelam jadi biru, sedang sisanya jelaga tapak kaki. Ilustrasi karya dua seniman gila yang selalu bergaya abstrak, namun menyisipkan sebuah arti. Dan sebuah judul puisi bertengger besar dibawahnya. 

Sajak-sajak Pasir. Adakah daratan mengampuni kami. Adakah lautan menerima kami.

------

Dua hari setelah kolom puisi dicetak, kini selembaran itu tertempel di sudut-sudut Kota Solo. Begitupun di depan Toko Buku Magani, lembaran kertas surat kabar itu menempel di tembok pagar gereja yang putih di seberang toko, menghiasinya dengan bait puisi yang tak kalah indah.

Sebagai orang yang akrab dengan buku-buku dan tulisan, bahkan kini aku bosan membaca lagi. Namun puisi Sajak-Sajak Pasir ini seperti membangkitkan gairah membaca yang sudah lama padam.

Berbakat sekali pacarmu. Aku menyanjung Kasim dan menuduh mereka telah berpacaran, sebab dalam waktu yang lama ini. Apakah kau belum bertindak selayaknya lelaki?

Payah. Setelah aku mengetahui bila Kasim belum memanfaatkan kesempatan untuk mencium dan membuat hatinya meleleh “Kau terlalu serius urusan ini.”

“Sepertinya aku memang serius urusan Lingkar Solo.” Seperti baru terbebas dari sebuah sangkar, yang malah membuatmu jatuh cinta pada keindahan alam liar. Sedangkan sangkar yang dulu terasa nyaman kini terasa seperti penjara bagi tubuh dan pikiran-pikiran. 

Di lingkar solo Kasim tak hanya bisa membayangkan gagasan-gagasan yang terpendam dari dalam sudut singup Toko Buku Magani, melainkan ia bisa mencetaknya jadi surat kabar. Seperti mewujudkan.

Hentikanlah Kerusuhan ini! Begitu barangkali jerit dalam batin kecilnya, di dalam dada yang mengintip dari kerah baju yang sengaja diangkat seperti pagar.

-------

Dua orang berbaju loreng, bersepatu tebal. Sehingga barangkali dapat memecah gendang telinga jika mendarat di kepala. Mereka berdiri di hadapan Kakar dan Kasim. Tepat setelah satu batang rokok mereka padam. 

Seperti mengetahui siapa mangsanya, Seorang berseragam itu menarik kerah baju Kasim, membuatnya terangkat berdiri. Merusak semua yang telah ditata sedemikian rupa agar mirip Elvis Presley. Mereka membiarkan Kakar, yang kemudian ikut berdiri dan coba melerai namun terhempas kemudian oleh tongkat besi yang menumbuk dadanya. 

Lihat selengkapnya