Di dalam kotak besi, sebuah dunia tersimpan rapat. Ingatan mendarat jauh pada seorang lelaki, suatu saat di Semarang. 1960.
Jenaka tawa itu dilahap malam, Batara Kala yang bangkit di malam gerhana membuat kami harus berjaga. Sebagai pemuda desa, lelaki memang yang paling diandalkan melindungi keluarga. Mereka harus beranjak dari kasur untuk berjaga di lincak-lincak. Di pinggir sawah. Nyamuk bebas menerkam. Udara boleh masuk tanpa undangan.
Namun malam ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kecuali raksasa yang bangkit di malam gerhana yang memakan segala gelap yang dipertaruhkan. Dan Kami membuat lampu obor untuk menerangi malam, yang nyala apinya semakin besar ketika tertiup angin.
Perayaan gerhana selalu dimulai dengan pementasan wayang. Jejer prajurit dan para laksamana hingga tancep kayon akan terselenggara di panggung itu, gelak tawa mencekam dari para penonton menghiasi lapangan terbuka. Kemudian persembahan malam itu ditutup dengan gunungan besar berisi sayur mayur hasil panen juga persembahan kepala sapi seperti mahkota tertancap di ujungnya. Orang-orang berebut seperti semut yang gila protein, hingga sisalah sepi saat pukul dua belas lewat seperti sekarang.
Di sebuah lincak tepi sawah, hanya tinggal dua orang pemuda saja, Santo dan Jagat. Kawan kecil yang tumbuh besar bersama sampai usia dua puluhan itu sudah seperti saudara kembar. Mereka selalu sepakat hal yang sama. Persoalan apapun. Termasuk pekerjaan.
Sama-sama bekerja sebagai perangkat desa, tak membiarkan mereka bisa bebas mabuk-mabukan seperti pemuda lain. Malam ini mereka berdua hanya terjebak oleh kepulan asap tembakau dan seruput kopi yang asam pahitnya mengental di tenggorokan. Sedang pemuda lain tengah bersembunyi di pojok-pojok desa dan melayang-layang tanpa kesadaran, minum arak hingga tak terasa getir di lidahnya.
“Sudah hampir sebelas bulan anakmu belum lahir-lahir juga.”
“Tak takut anakmu diculik buto di malam ini?”
Santo seperti kasihan pada pemuda di sebelahnya, Jagat, sebab ia menikahi putri kepala desa dan menghamilinya satu tahun lalu. Namun si wati anak kepala desa itu belum melahirkan juga setelah 11 bulan bunting besar.
Tentunya jagat sudah melakukan banyak upaya, namun si jabang bayi seperti betah tinggal di dalam perut ibunya. Atau barangkali ia takut melihat dunia yang pelik ini.
“Memang belum saatnya lahir saja.” Jagat pasrah. Tak ada yang dapat ia lakukan selain hanya menuruti waktu. Semua upacara rasanya sudah tuntas dijalankan untuk menyambut jabang bayi, tiga bulan, tujuh bulanan, lalu sampai lewat waktu yang seharusnya begini. Semua upacara yang telah dilakukan besar-besaran mengingat wati adalah anak orang terpandang.
“Kau sudah masuki istrimu belum? Katanya seperti memancing, kau harus terobos dulu dari luar. Semacam beri umpan biar membuka jalan buat si jabang bayi.” Santo memberi saran. Lantas Jagat hanya mengepulkan asap di wajah Santo.
“Gondes.” Ditaboknya udara untuk menumpas kepulan asap yang membuat Santo terbatuk-batuk. Sedang Jagat mulai mengecup puas kopinya saat Santo bereaksi kesal seperti itu.
“Omong kosong mengerikan. Bisa-bisa bayiku meninggal karena tertusuk-tusuk kelaminku.” Mungkin Santo belum tau bagaimana wati jika sudah birahi, sebuah rahasia yang jagat simpan rapat-rapat. Ia tak mau membicarakan masalah ini pada siapapun. Sebab jagat merasa hubungan suami istrinya adalah aib yang tak boleh bocor pada siapapun.
“Pak Kades sudah khawatir cucunya tidak brojol-brojol, kau ini sebagai menantunya malah santai saja.” Santo melanjutkan, memberi penjelasan.
“Apa jangan-jangan sungsang anakmu itu?” Ia mulai berprasangka.
“Wah bisa jadi wong pinter kalau sudah gedhe. Bisa lihat hantu. Sakti anakmu.”
Berturut-turut Santo mengoceh sendirian, nampak senang jika jika benar bayi itu akan jadi orang sakti, sebab ia merasa bangga pula jika anak Jagat bisa menyembuhkan segala bentuk penyakit dan pageblug di desa.
“Ndasmu, kalau sudah waktunya nanti juga lahir. Dan kalau dia benar sakti, dia bisa keluar sendiri tanpa menunggu 11 bulan.” Jagat menoyor kepala Santo.
Rupanya Ia ingin menyudahi obrolan tentang kehamilan wati. Sebab bisa apa dua pemuda yang hanya bekerja sebagai perangkat desa soal melahirkan bayi?
Mereka hanya bisa menunggu ketuban pecah dan meloloskan seonggok manusia kecil. yang katanya bakal lahir sebagai perempuan.
Dahulu jauh sebelum mengenal wati, Jagat memang tidak pernah percaya tahayul. Walau lahir di desa kecil di Semarang, namun Ia tumbuh sebagai anak calo tiket bus luar kota, dan ibu nya hanya lihai memasak saja di rumah. Tak heran bila ia sering menghabiskan waktunya berada di terminal, Ketimbang bermain di desanya.
Ia sering melihat orang-orang dari luar kota berdatangan sebab terminal itu melayani trayek antarkota. Bersama Santo pula, satu-satunya kawan. Jagat menghabiskan waktu dari pagi hingga pagi lagi di sekitaran terminal. Mereka berdua memang sudah dekat sejak lahir saat tahun 1939 kala itu, saat belanda sedang sibuk-sibuknya berbisnis di kota lama dan membangun kartel besar.
Simbok mereka kakak beradik, bunting dan melahirkan di waktu yang sama pula. Mereka adalah sepupu dekat yang sering berbagi kenakalan tanpa ketahuan orang tua mereka. Begitu pula mereka bisa sedekat itu, seperti pada kakak kandung sendiri.
Hinggalah mereka tumbuh sekitar umur dua belas tahun. Saat itu mereka tak pernah lagi menginjakkan kaki di terminal. Bukan karena tak ingin bermain di tempat itu, namun Ayah Jagat sudah memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya. Ia lebih memilih berdagang sayur di pasar Djohar.
Saat 1950 belanda pergi dan jepang telah mundur ke kampung halaman. Seolah negeri dipaksa untuk berjalan sendirian setelah ratusan tahun tak mengenal kata merdeka. Tertatih-tatih bayi yang baru belajar jalan, begitu pula kondisinya yang sulit. Ekonomi lemah dan Para lelaki harus memutar otak untuk mencari nafkah dengan cara apa. Dan ayah jagat melihat sayur-sayur sebagai peruntungan besar, ketimbang harus menjajakan tiket bus di terminal, yang barangkali bisa tidak laku sama sekali dalam sehari.
Berbeda dengan keluarga jagat yang harus bersusah payah selama krisis ekonomi. Ayah Santo, kakak ipar dari simboknya jagat. Alias pakdhe bagi Jagat dulunya bekerja di Marba, menjadi karyawan kantor untuk mengurus pelayaran ekspedisi muatan kapal laut. Bisnis muatan kapal itu dijalankan oleh saudagar kaya raya asal Yaman bernama Marta Badjunet. Mar-Ba, Marta Badjunet. Orang yang punya uang banyak bisa mendirikan gedung dengan namanya sendiri.
Dan ayah Santo, yang bekerja dengan baik sebagai karyawan akhirnya bisa naik jabatan jadi asisten pribadi Marta Badjunet tepat setelah Santo dilahirkan. Seperti hadiah kejutan untuk kelahiran anak pertama. Atau barangkali seperti awal dari segala malapetaka bagi Santo.
Sampailah saat setelah Indonesia merdeka, saat Marta Badjunet tak berhak atas gedung Marba lagi. Marba diambil alih oleh seorang pengusaha, entah sekarang jadi perusahaan apa. Namun karena Marta Badjunet kepalang suka dengan pekerjaan Ayah Santo yang ulet, maka ia memboyongnya ke Yaman untuk bekerja di sana.
Sedang ia pulang setahun sekali untuk menjenguk istrinya, yang hanya ibu rumah tangga itu. Itulah mengapa Santo selalu kesepian di rumah, sebab ia merasa tak punya ayah. Ia lebih memilih bergaul dengan Jagat, walau ia bisa jengkang-jengkang saja dengan mainan impor yang datangnya dari yaman setahun sekali
Kini Jagat dan Santo mau tidak mau menghabiskan usia menginjak remajanya di kawasan pasar Djohar. Bergaul dengan pohon-pohon juar atau jati wesi yang tumbuh mengelilingi pasar, dan barangkali itulah mengapa pasar ini dinamakan Djohar. Jagat dan Santo setiap waktu duduk di bawahnya, temaram daun-daun meneduhkan dua kepala bocah lelaki itu.
“Pakdhe Tomo, pulang kapan tho?” Jagat bertanya pada Santo perihal pakdenya, ayah kandung Santo yang sekarang ada di Yaman.
“Biasanya malam tarawih ketiga, tapi belum ada kabar juga.”
“Aku Ndak mau bapak pulang sekarang.” Ditambahnya dengan berkeluh kesah.
“Kenapa?” Jagat terkejut mendengar keluh kesah itu. Sedikit heran, bukannya senang hidup tanpa ayah. Tanpa aturan. Namun selalu punya uang kecukupan dan punya mainan impor tiap setahun sekali.
Di dalam lubuk hati Santo, ia benar-benar tak ingin bertemu dengan ayahnya. Lelaki itu sudah tak akrab dengan dirinya. Sebab perpisahan bertahun-tahun sejak Santo masih orok rupanya tak memberikan rasa rindu baginya. Perpisahan itu hanya memberikan jarak, yang lama-lama membuatnya semakin terasing. Setiap kali bertemu saat bulan puasa tiba, mereka tak pernah mengobrol panjang. Ia merasa ayahnya tidak bekerja di Yaman, namun Santo merasa bahwa ayahnya disandera dan dipenjara oleh saudagar kaya raya. Ia bahkan lebih dekat dengan keluarga pak lek dan buleknya, keluarga Jagat, ketimbang keluarganya sendiri.
Tak menjawab, seolah Santo membiarkan kesedihannya itu menguap oleh panas matahari siang. Hingga akhirnya Santo pun mengajak Jagat untuk pergi ke sebuah tempat pemandian, tempat yang adem untuk meredakan tubuh mereka. Seketika Jagat pun berpamitan dengan ayahnya yang tengah memilih sayur-sayur para pembelinya. Dan mereka berdua menelusuri langkah-langkah hingga sampailah di aliran sungai Bandjirkanaal yang mengalir debit airnya pelan.
Mereka langsung mencopot seluruh kaos mereka, menyisakan kolor kusut dan tubuh kerempeng. Terjun ke bilasan air dingin yang membuat buku-buku jemari mereka kisut dan keriput. Gigil tubuh tak membuat mereka berhenti mengayuh tangan, berenang melawan arus kecil. Beberapa kali mereka coba berseluncur dengan gedebog pisang, namun selalu terjatuh karena licin. Dan setelah percobaan berulang kali, mereka menyerah pula. Meletakkan gedebog pisang itu kembali ke sisi sungai, mereka duduk diatasnya. Sisa air seperti butir jagung mengalir di dahi mereka.
“Lihat, itu wati bukan. Anak Pak Likin, Solikin penebas gabah itu.” Santo menunjuk seorang perempuan, kiranya berusia sama dengan dua bocah itu. Tumbuh pepaya gandul di balik jarik yang basah, menonjol dan terlihat besar begitu saja akibat tubuhnya belum terlalu sepadan. Wati sedang mencuci pakaian bersama wanita sebayanya. Sedang Santo dan jagat menonton dari pinggir sungai yang berseberangan.
Pak Likin calon lurah?” Jagat bertanya singkat, sebab kabarnya ayah wati akan mencalonkan diri sebagai lurah setelah gagal dua kali. Kali ini entah bagaimana caranya.
“Katanya kali ini dia pasti menang, sudah berdukun di Padepokan Ki Lembah.” Santo membocorkan.
“Ngawur, aku tidak percaya dukun.”
“Kau tidak percaya Ki Lembah?”
“Tidak.” Jagat menggelengkan kepala sekali lagi.