Pak Likin mengetahui bila wati sudah bunting, dan seorang lelaki datang “Jagat.” Sebuah nama yang diperkenalkan di depan keluarga kecil. Duduk di kursi, Pak likin dengan tongkat ukiran singa di ujungnya seperti ingin menerkam walau tongkat itu tak bergerak sama sekali. Disampingnya seorang istri cantik bersanggul cepak, kulitnya memes walau sudah paruh baya.
Jagat datang bersama Santo. Mereka datang hanya dengan bermodalkan wajah dan tubuh saja. Barangkali Jagat sudah siap dipukuli anak buah Pak Likin, dan mungkin Jagat akan kehilangan nyawanya jika Wati tak begitu dalam mencintai lelaki itu.
“Saya jualan sayur, pak.” Kalimat pertama yang Jagat keluarkan membuat seluruh isi ruangan sepi. Jagat manggut-manggut, merasa malu tetapi harus berkata sejujurnya.
Diam sejenak, Pak Likin tertawa terbahak-bahak. Diikuti anak buah di belakangnya. Sementara Istrinya memandang jagat kecut, sambil mengelus-ngelus tangan wati di sebelahnya.
Satu lirikan Pak Likin membuat anak buahnya maju, mereka berbisik-bisik. Lalu seorang lelaki itu keluar dari ruang tengah, kembali lagi dengan selongsong kain putih, diletakkan di meja. Tepat diantara dua kubu keluarga itu.
“Le, percaya keris ini bisa berubah warna?” Pak Likin berkata demikian. Membuka selapis kain mori, keris dengan tiga luk berwarna hitam legam, sementara gagangnya terbuat dari tulang macan. Tak lupa sarung keris bak sebuah permadani terbuat dari bingkai kayu dihias logam dan ukiran tembaga.
Hampir jagat berkata tidak, sebab ia tak percaya hal mistis. Ia tak yakin keris yang hitam legam itu bisa berubah jadi seputih susu. Namun Santo menginjak kakinya, membuat jagat mengangguk dengan kaku. “Njih,” singkatnya.
“Mandikan ini setiap malam, terus bawa kesini lagi setelah tujuh malam. Kalau keris ini berubah warna jadi putih, kowe lanangan terpilih.” Jelasnya cukup jelas bagi Jagat untuk menuruti syarat itu. Sepulangnya dari rumah Wati, Ia memboyong satu keris yang ditutup kain mori. Ia harus mulai memandikan keris itu dalam tujuh hari tujuh malam. Mulai dari malam ini.
------
“To, wes pernah nyuceni keris?” Jagat masih terjebak dengan sebuah baskom berisi keris. Pakai sabun?
“Dlogok.” Santo menahan tangan Jagat yang hampir saja menuang sabun colek ke dalam baskom berisi air dan sebilah keris berwarna hitam legam. Lalu ia menarik tubuh jagat, memberinya sedikit syarat yang ia ketahui. Air biasa di baskom itu dicampur bubuk warangan, bubuk terbuat dari batuan berwarna putih itu. Tapi sebelum itu, Santo menyuruh jagat mencelupkan keris di wadah yang berbeda, sebuah baskom air berisi kembang tujuh rupa. Baru dikeringkan, disampulkan kain mori seperti semula. Dan kini jagat mencatatnya dalam ingatan, sehingga esoknya ia bisa memandikan keris itu tanpa bantuan Santo.
Lima hari berselang, Jagat tak melihat warna putih di keris itu. Masih hitam legam. Seperti arang. Seperti jelaga noda yang tak bisa hilang. Sebenarnya jagat tak tahu maksud dari mencuci keris ini sampai menjadi putih.
“Kalau kerisnya jadi putih, kata bapak mas Jagat orang yang suci.” Jelas Wati.
“Kalau ternyata aku bukan orang suci, apa aku bisa menikahimu?”
Wati hanya terdiam tak menjawab sepatah katapun. Dan esok adalah hari terakhir, malam ke tujuh. Jagat membuka kain mori sebelum mencucinya, dalam hitungan ketiga ia melek. Berharap keris jadi putih. Namun nihil. Keris itu masih sama seperti semula. Lanjut ia pun mencucinya dengan putus asa, tak tahu bagaimana nasibnya besok, saat menyerahkan keris itu kembali pada Pak Likin.
Kain mori ditutup rapat, ia sengaja tak membukanya sejak semalam. Dengan langkah lemas, ia ditemani Santo kembali ke rumah wati. Dua kursi panjang, mereka berhadap-hadapan. Dan sebuah keris terpajang di meja, masih tertutup kain putih.
Pak Likin menarik kain mori, seperti menarik selimut. Dan benar saja, sebab keris itu masih utuh warnanya. Jagat tak mampu menahan kecewa, santo pula. Juga wati yang terisak pilu, di wajahnya seperti terbenam matahari sore.
Cengir pak likin timbul, ia menarik gagang yang terbuat dari tulang macan itu. Memegangnya seolah siap berperang. Dan ia tarik tangan Jagat, meletakkan telapak tangannya di meja. Membuat Santo ikut melompat, ia tak ingin ada pertumpahan darah.
Sebuah sayat kecil pada telapak tangan Jagat, dan keris itu berlumuran darah sementara Jagat meringis kesakitan. Pak Likin pun semakin lebar senyumnya, ketika cairan darah itu membilas hitam legam pada keris tiga luk di tangannya. Lambat laun darah yang turun, menyisakan bercak putih. Semua orang terbelalak, sebab sedetik kemudian keris itu menjadi putih seperti susu setelah terkena darah.
“Cucilah dengan darahmu, darah mu masih suci.” Perkataannya penuh rasa bungah.